TUGAS PLANKTOLOGI
(Kajian jurnal Kasus RED TIDE/blooming algae di Kawasan Timur Indonesia)
Oleh:
Cyecilia Pical
Jantho G siahaya
Greaty Ilona Hatulesila
Stefany T Salhuteru
Imelda Malik
Romla Acim
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Red Tide merupakan suatu fenomena alam yang terjadi akibat pertumbuhan populasi spesies fitoplankton yang begitu cepat (bloom) melampaui pertumbuhan spesies lainnya. Blooming ini dapat mengakibatkan perubahan warna perairan menjadi merah, merah – kecoklatan, atau kehijauan (Hallegraff, 1978). Perubahan warna yang terjadi tergantung dari spesies penyebab terjadinya red tide. Fenomena ini ada yang menghasilkan racun (harmful algal bloom) dan ada yang tidak menghasilkan racun (anaxious spesies). Biasanya keracunan terjadi melalui ikan atau kerang-kerangan perantara.
Walaupun termasuk negara konsumer protein, di Indonesia data mengenai keracunan akibat dinoflagellta beracun masih sangat minim diakibatkan kurangnya penelitian. Di Kawasan Timur Indonesia, penelitian mengenai kasus “red tide” baru dilakukan sejak tahun 1993 hingga sekarang.
Permasalahan red tide di Kawasan Timur Indonesia perlu mendapatkan perhatian karena cukup potensial dan rawan akan peledakan red tide (Wiadnyana et al. 1995). Untuk itu dalam penulisan ini, dibahas mengenai beberapa kejadian blooming fitoplankton beracun disertai penyebaran spesies baracun di sejumlah titik penelitian yang berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas sejumlah spesies beracun yang mengakibatkan red tide di Kawasan Timur Indonesia serta dampak yang telah ditimbulkan.
C. Metode
Penelitian ini dilakukan pada beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) antara lain Perairan Teluk Kao, Teluk Amnbon, Perairan Seram Bara (Teluk Piru dan Teluk Elpaputih), Perairan Sorong, Teluk Cendrawasih, dan Perairan Biak. Penelitian dilakukan dengan metode koleksi sample menggunakan jaring plankton (planktonet) secara vertikal dari kedalaman 100 m ke permukaan dengan ukuran mata jaring (mesh size) 64 μm dan juga dengan menggunakan botol Van Dorn untuk sample dari kedalaman 5 meter. Khusus di perairan Teluk Kao dan Teluk Ambon sampel yang dikoleksi dari permukaan secara horisontal dengan jaring plankton yang sejenis. Beberapa parameter oseanografi dan kimia perairan juga diamati pada saat yang bersamaan di setiap lokasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fenomena Red Tide Di Kawasan Timur Indonesia
Peta Lokasi Blooming alga di Kawasan Timur Indonesia |
Peta Tiap Lokasi pengambilan sample |
1. Blooming Fitoplankton di Teluk Kao
Fenomena red tide di perairan Teluk Kao terjadi pada bulan Maret 1994. Fenomena ini mengakibatkan warna air berubah menjadi merah - kecoklatan yang disebabkan oleh spesies Pyrodinium bahamense var. compressum. Munculnya spesies ini diawalidengan adanya upwelling sehingga masa air pada perairan dalam terangkat ke permukaan bersamaan dengan kista P. bahamense var compressum yang kemudian mengalami perubahan fase vegetatif dengan cepat sehingga menimbulkan peledakan populasi (blooming) di perairan tersebut.
Parameter lingkungan Teluk Kao saat terjadinya blooming yakni memiliki temperature permukaan air laut yang cukup tinggi yaitu berada pada kisaran antara 30,9 – 31,5 0C. Selain itu, Salinitas perairan relative rendah, berkisar antara 29,2 – 30,1 ppm. Memiliki kandungan fosfat yang berkisar antara 0,32 – 0,35 ug-at-P per liter dan Kandungan Nitrat berada pada kisaran 0,91 – 1,18 ug-at-N per liter.
P. bahamense var compressum tergolong dalam spesies yang mampu menghasilkan toxin. P. bahamense var compressum yang mengandung racun apabila dikonsumsi oleh kerang-kerangan belum menimbulkan dampak atau efek yang nyata. Namun jika kemudian kerang-kerangan ini dikonsumsi oleh manusia maka dampak adanya spesies yang mengandung toxin di perairan dapat dirasakan melalui beberapa gejala seperti badan terasa gatal, bibir terasa tebal, badan terasa keram, mual-mual, pusing, dll. Toxin yang dihasilkan di perairan Teluk Kao merupakan racun PSP ( Paralytic Shellfish Poison)
Fenomena blooming P. bahamense var compressum tahun 1994 di Teluk Kao ini bukan merupakan kejadian yang pertama kali. Sehingga masyarakat setempat telah mengenal gejala-gejala dan dampak dari fenomena ini. Hal ini mengakibatkan mereka dapat mengantisipasi adanya korban dari gejala ini dengan tidak mengkonsumsi kerang-kerangan ataupun ikan pada lokasi tersebut. Tercatat bahwa blooming P. bahamense var compressum pada tahun 1994 di Teluk Kao, tidak menimbulkan adanya korban jiwa.
2. Fenomena Blooming di Teluk Ambon
Kejadian blooming yang terjadi di Teluk Ambon pada bulan Juli 1994 disebabkan oleh spesies Pyrodinium bahamense var. compressum. Fenomena ini terjadi setelah musim hujan dengan tingkat curah hujan yang cukup tinggi pada bulan sebelumnya. Temperatur permukaan laut cukup rendah dari musim kering yaitu berkisar antara 24,8-26,5 0C. Selain itu perairan ini memiliki salinitas yang dengan kisaran antara 30,5 – 32,0 ppm. Kadar fosfat di perairan cukup tinggi dengan nilai rata-rata 0,64 mg/l. sedangkan kadar nitrat dalam perairan sebesar 1,30 mg/l.
Berbeda dengan kejadian blooming di Teluk Kao, Fenomena blooming di Teluk Ambon cukup fatal karena adanya korban kematian 3 orang anak kecil dan 33 orang lainnya dirawat di rumah sakit akibat keracunan. Keracunan diakibatkan setelah masyarakat sekitar mengkonsumsi kerang-kerangan yang telah terkontaminasi dengan racun atau toxin yang dihasilkan oleh P. bahamense var. compressum. Kerang-kerangan yang dikonsumsi ini dikenal dengan nama ”Bia Manis” (Hiatula chinensis) sebagai nama lokalnya. Toxin yang dihasilkan tergolong dalam jenis toxin PSP.
2. Penemuan Potensi Blooming di Perairan Seram dan Perairan Papua
Di daerah perairan Seram dilakukan penelitian di Teluk Piru dan Elpaputi pada bulan Juli dan Agustus tahun 1994. dari hasil penelitian tersebut diketahui kepadatan P. bahamense var. compressum cukup rendah yaitu sekitar 17 sel per liter di Teluk Piru dan 1 sel per liter di Elpaputi. Kondisi temperature air laut dalam kedua perairan tersebut relative sama yaitu dengan nilai kisaran antara 21,4 – 25,8 0C dan salinitas berada di antara kisaran 34,21 – 34,28 ppm. Apabila terjadi upwelling dikhawatirkan kista yang mengendap di dasar perairan akan naik ke permukaan dan dapat mengakibatkan terjadinya blooming.
Di daerah penelitian lain pada kawasan Papua yakni Sorong, Biak, dan Teluk Cendrawasih ditemukan spesies Pyrodinium dengan konsentrasi yang sangat rendah. Perairan Sorong memiliki kepadatan 14 sel per liter, Perairan Biak dengan kepadatan sel 42 sel per liter, serta Teluk Cendrawasih dengan kepadatan 1 sel per liter. Kondisi hidrometerologi pada perairan Sorong dapat dilihat pada kondisi temperatur yang berkisar antara 20,0 – 28,5 0C. Sedangkan pada perairan Biak dan Teluk Cendrawasih memiliki kondisi temperatur yang homogen dengan kisaran antara 20,7 – 30,0 0C. Di lokasi ini pernah ditemukan Pyrodinium bahamense var. compressum.
B. Spesies Penyebab Blooming
Pada beberapa daerah di KTI yang menjadi titik penelitian, hanya didapati bahwa blooming yang sebagian besar terjadi di KTI disebabkan oleh satu spesies dinoflagellata yakni Pyrodinium bahamense var. compressum.
Pyrodinium bahamense var. compressum
● Klasifikasi Ilmiah P. bahamense var. compressum
Klasifikasi Ilmiah | |
Kingdom : | Protista |
Divisi : | Phyrophyta |
Kelas : | Dinophyceae |
Ordo : | Gonyaulacales |
Famili : | Goniodomaceae |
Genus : | Pyrodinium |
Spesies : | P. bahamense var compressum |
● Ciri-Ciri P. bahamense var. compressum
P. bahamense var. compressum |
P. bahamense var. compressum |
Pyrodinium bahamense dapat ditemukan di sepanjang daerah laut dekat pantai dan penyebarannya hampir di seluruh negara, meskipun mereka lebih sering hadir dalam kondisi melimpah di belahan bumi utara.
sel P. bahamense var compressum sangat khas. Karena biasanya ditemukan dalam bentuk rantai panjang yang terdiri hingga 32 sel. Namun ada juga sel yang muncul secara tunggal. sel tunggal berbentuk bulat membentuk anterior dan posterior.
P. bahamense var compresum Memiliki panjang sel yang berukuran dari 33-47 µm, sedangkan diameter dari dorsal menuju ventral berkisar antara 37-47 µm. Pyrodinium bahamense berbentuk bulat dengan kerangka plat selluosik di sekitarnya dikenal sebagai thecal. thecal ditutupi dengan defensif pori-pori yang dikenal sebagai trichocysts.
Seperti dinoglagellata lainnya P. bahamense var compresum memiliki flagella horizontal dan flagella longitudinal yang dimanfaatkan sebagai alat gerak.
Pigmen fotosintesis yang dimiliki antara lain klorofil a, c, β – karoten, Fucoxanthin, Dinoxanthin, Peridinin, Neoperidinin. Sehingga tampak berwarna hijau – kekuningan atau kuning kecokelatan, bahkan ada juga yang merah kecokelatan saat terjadinya blooming di suatu perairan.
Organisme ini termasuk dalam organisme autotrof yang mampu menghasilkan zat organic lewat proses fotosintesis dibantu oleh sejumlah pigmen yang dikandung.
Reproduksinya melalui fase aseksual, seksual, dan juga spora istirahat. Yang juga istimewa dari spesies ini adalah dalam siklus hidupnya P. bahamense var compressum dapat membentuk kista (cyst) yang merupakan fase istirahat dan dapat bertahan cukup lama di dasar perairan saat kondisi perairan memburuk. Kista ini kemudian akan berubah fase bila kondisi perairan membaik dan ditunjang oleh faktor temperature, salinitas, intensitas cahaya dan ketersediaan nutrient. Kondisi seperti ini sangat menunjang terjadinya upwelling yang mampu mengangkat sejumlah massa air dari dasar sehingga kista akan naik ke permukaan dan berubah fase vegetatif dengan cepat. Hal ini mengakibatkan jumlah dinoflagellata ini melimpah dapat mengakibatkan terjadinya blooming.
● Akibat adanya Pyrodinium bahamense var compressum bagi Perairan
Tercatat ada beberapa kasus keracunan pada manusia yang disebabkan oleh spesies P. bahamense var compressum melalui perantara terlebih dahulu yang lebih dikenal dengan istilah Paralytic shellfish poisoning (PSP).
PSP dapat menimbulkan kejang-kejang sampai pada kelumpuhan. Hal ini dapat dilihat seperti yang pernah di alami saat kasus blooming di Teluk Ambon, diakibatkan mengkonsumsi kerang hidup yang telah terkontaminasi (3 orang anak meninggal dan 33 orang lainnya dirawat di rumah sakit). Selain itu yang terjadi di Guatemala mengakibatkan 26 orang meninggal dan sekitar 185 orang di rawat di rumah sakit. Sebelum itu kasus besar lain teIah terjadi di Filipina, dimana 21 orang meninggal dan sekitar 278 orang di rawat di rumah sakit.
Pyrodinium bahamense dikenal sebagai organisme yang mampu mengeluarkan racun sehingga dapat menyebabkan keracunan tipe PSP. Kelompok racun yang dirilis oleh bahamense Pyrodinium dikenal sebagai saxitoxins. Meskipun tidak keluar sangat berbahaya di laut terbuka, toksin itu diasingkan dalam kerang (moluska) dan berbahaya bagi orang yang mengkonsumsi moluska. . korban keracunan PSP memiliki kemungkinan hingga mengalami kematian sebesar 15% . Gejala akan dengan cepat muncul dalam waktu satu jam setelah mengkonsumsi kerang yang terkontaminasi yakni mati rasa atau keram, hilangnya fungsi motorik, pusing, mengantuk dan dalam kasus-kasus terburuk, kelumpuhan pernafasan sampai kepada kematian.
Studi terbaru mengenai PSP dan bahamense Pyrodinium menunjukkan bahwa berbagai bakteri endosymbiotic yang memproduksi saxitoxins. Di Florida ditemukan P. bahamense var compressum yang dikandung oleh ikan puffer yang mampu menghasilkan saxitoxin. Sedangkan di perairan Atlantik ditemukan dari sekian jumlah sel P. bahamense var compressum, tidak satu pun sel yang mengandung racun. Temuan ini diperoleh pada tahun 2002.
● Penyebaran P. bahamense var compressum di Indonesia
Di perairan Indonesia, spesies ini dijumpai di beberapa tempat seperti Teluk Kao, Teluk Ambon, Teluk Piru, Teluk Elpaputih, perairan Saparua, perairan Sorong, sekitar Biak dan Teluk Cenderawasih, selain itu di Teluk Jakarta dan perairan Bangka. Saat kemunculannya di Teluk Kao pada Maret 1994 menyebabkan perubahan warna perairan menjadi merah kecoklatan. Di perairan Seram dan Irian Jaya, kepadatan Pyrodinium elative rendah dan belum ada laporan tentang kasus-kasus keracunan. Sementara di Saparua, Pyrodinium ditemukan pada periode Juni – Juli 1994 di perairan sekitar Teluk Tuhaha, Desa Noloth, Desa Pia dan Desa lhamahu dengan kepadatan berkisar antara 6 – 95 sel/liter.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa Kawasan Perairan Indonesia Timur dapat disimpulkan sebagai berikut :
● Pada daerah Teluk Kao pernah mengalami fenomena red tide yang terjadi pada bulan Maret 1994 yang mengakibatkan warna air berubah menjadi merah kecokelatan dan disebabkan oleh spesies Pyrodinium bahamense var. compressun. Fenomena ini tidak menjatuhkan adanya korban jiwa.
● Fenomena red tide di Teluk Ambon terjadi pada bulan Juli 1994 yang disebabkan oleh spesies P. bahamense var compressum sehingga menimbulkan keracunan PSP yang berdampak pada meninggalnya 3 orang anak dan 33 orang lainnya di rawat di rumah sakit.
● Pada beberapa titik penelitian lainnya seperti di Perairan Seram Barat, Perairan Sorong, Teluk Cendrawasih, dan Biak ditemukan adanya spesies P. bahamense var compressum dalam konsentrasi yang rendah namun berpotensi menimbulkan terjadinya fenomena red tide.
● Sebagian besar fenomena red tide yang terjadi di KTI disebabkan oleh spesies Pyrodinium bahamense var compressum. Hal ini dikarenakan penyebarannya yang tinggi di daerah tropis.
B. Saran
Secara pasti, setiap fenomena red tide yang terjadi belum dapat diramalkan baik waktu, tempat, maupun lamanya kejadian. Selain itu, penyebaran sejumlah spesies-spesies penyebab red tide juga belum banyak diketahui. Sehingga disarankan agar penelitian dan pemantauan mengenai setiap fenomena red tide harus dilakukan secara berkesinambungan oleh instansi-instansi terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Sibadutar .T, N.N. Wiadnyana, dkk.1996.Kasus “RED TIDE” di Perairan Indonesia Bagian Timur. Poka : Puslitbang Oseanologi-LIPI.