Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Pesisir Desa Rumahtiga
Disusun oleh :
CYECILIA PICAL (2009 – 63 – 028)
Prodi : MSP
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2010
Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Pesisir Desa Rumahtiga
Setiap daerah atau setiap tempat yang
ada di dunia tentunya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik
atau ciri pembeda inilah yang membuat setiap daerah memiliki keunikan
masing-masing. Kadang orang sebenarnya tidak memperhatikan keunikan dari suatu
daerah secara baik. Padahal, jika kita mampu mengelolah atau memanage keunikan
suatu daerah dengan baik, ada banyak manfaat yang dapat kita peroleh.
Sebut
saja daerah pesisir yang terkadang tidak
begitu di pandang oleh masyarakat luas. Hal ini sebenarnya sangat
memprihatinkan. Betapa terdapat begitu banyak peluang pemanfaatan yang
seharusnya dapat dilakukan, tetapi setiap kita hingga saat ini masih kurang
jeli dalam melihat seberapa besar peranan daerah pesisir dalam kehidupan kita. Menurut
Saya, kita harus mengakui bahwa wilayah pesisir kaya akan karakter kehidupan.
Setiap wilayah pesisir memiliki ciri tersendiri yang kuat, terutama dalam
kehidupan sosial budaya yang dimiliki.
Desa
Rumahtiga merupakan salah satu desa pesisir yang berada di sepanjang kawasan kecamatan Teluk Ambon Baguala.
Tepatnya desa ini memiliki kawasan pesisir yang berhadapan dengan Desa Galala
di seberang laut. Tentunya, sebagai desa pesisir, Desa Rumahtiga memiliki berbagai
macam karakteristik yang membuat kehidupan sosial budaya pesisirnya begitu
unik.
Karakter
suatu tempat tentunya sangat berkaitan erat dengan relief atau bentuk
permukaan tempat tersebut. Sebut saja
desa Rumahtiga yang terletak di sepanjang pantai pada Teluk Ambon bagian dalam.
Karena terletak di kawasan pesisir, maka sosial budaya yang berkembang di Desa
Rumahtiga juga merupakan sutau kehidupan sosial yang tidak berorientasi jauh
dari kehidupan pantai dan pesisir. Kehidupan
masyarakat di Desa Rumahtiga merupakan percampuran antara penduduk asli yang
hanya sebagian kecil dan tinggal di sebagian besar kawasan pesisir. Selain itu
juga penduduk pendatang yang lebih berorientasi di daerah daratan. Tentunya, yang
harus dilihat sebagai ciri sosial budaya kehidupan masyarakat di Desa Rumahtiga
adalah merupakan kehidupan penduduk asli Desa Rumahtiga yang tinggal di kawasan
pesisir.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan mantan Kepala Desa Rumahtiga, Bapak Ferdinan Tita,
diperoleh suatu informasi penting bahwa, kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir
Desa Rumahtiga sangat kental di zaman dahulu. Menurut beliau, adalah suatu
anugerah pernah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pesisir. Hal ini
dikarenakan oleh budaya yang mengakar serta kehidupan sosial yang begitu original
atau asli. Banyak pelajaran kehidupan yang bisa dipetik dari kehidupan
masyarakat pesisir karena kehidupan mereka yang apa adanya.
Karena
bermukim di sepanjang kawasan daerah pesisir, sebagian besar penduduk asli Desa
Rumahtiga bermata pencaharian sebagai nelayan. Aktifitas nelayan yang dilakukan
relatif sederhana. Di tahun 1970-an memang beberapa masyarakat ada yang
mempunyai redi, tetapi di awal tahun 1990-an, sudah tidak mulai digunakan. Masyarakat hanya memancing dengan perahu dan
kail, atau bahkan dengan membuang jaring atau jala. Dulu juga di Desa
Rumahtiga, masyarakat sering menangkap ikan dengan menggunakan jaring dara.
Namun dengan berjalannya waktu, kondisi alam yang tidak sesuai tidak
memungkinkan masyarakat nelayan tempat tersebut untuk menjaring ikan dengan
menggunakan jaring dara. Pada masyarakat pesisir bukan hanya para suami yang
melakukan pekerjaan. Para istri juga turut menyumbang peranan penting di dalam
kehidupan ekonomi mereka. Jika suami-suaminya melakukan proses tangkap,
biasanya para istri akan membantu mereka dalam menjual ikan dengan cara “bajalang koliling kampong” (berjalan
sepanjang kampung) sambil membawa hasil tangkapan berupa ikan segar, dan
biasanya di beli oleh masyarakat lainnya.
Selain
sebagai nelayan, masyarakat pesisir Desa Rumahtiga juga mampu melihat adanya
peluang kerja bagi mereka lewat alat transportasi air untuk penyeberangan dalam
teluk yakni dengan menggunakan perahu. Sebenarnya filosofi berkembangnya perahu
sebagai alat transportasi perairan di Desa Rumahtiga berawal dari nenek moyang
mereka di zaman dulu. Dulu, saat nenek moyang Desa Rumahtiga akan pergi
bersekolah atau ingin pergi ke Kota, mereka harus mendayung sendiri perahu yang
mereka miliki. Aktifitas ini terus berjalan dari waktu ke waktu. Hingga suatu
saat orang merasa bahwa sebenarnya terdapat peluang mereka dalam menyambung
kehidupan ekonomis jika mereka mau saling bekerja sama. Ada yang mendayung
hingga tempat tujuan, dan ada yang akan membayar sejumlah nilai kepada orang
yang mendayung. Di zaman dahulu, dalam membayar harga perahu ada yang pakai
barang atau dengan istilah barter. Tetapi dengan perkembangan zaman, maka nilai
ekonomisnya dapat ditukar dengan uang. Selain itu, perkembangan alat
transoprtasi laut yakni perahu juga tetap ada sampai sekarang ini.
Karena memiliki mata pencaharian
yang mengakibatkan mereka harus bekerja denga keringat darah dan melawan
kondisi alam, biasanya masyarakat pesisir diidentikan dengan istilah jujur.
Selain itu memiliki fisik tubuh yang kekar serta berwarna gelap atau hitam. Hal
ini juga nampak dalam kehidupan masyarakat pesisir Desa Rumahtiga. Jika
meninjau ciri masyarakat pesisir yang menyatakan bahwa mereka biasanya memiliki
suara yang besar, realita ini tidak begitu terjawab pada masyarakat pesisir
desa Rumahtga. Berbeda dengan Desa Alang yang merupakan daerah pesisir dengan
ombak yang sangat besar, sehingga terdapat filosofi bahwa hal ini mengakibatkan
masyarakat setempat memiliki volume suara yang juga relatif besar untuk melawan
suara ombak tersebut. Karena pesisir Desa Rumahtiga terletak di Teluk Ambon
bagian dalam, jadi ombaknya tidak begitu besar, sehingga volume suara dari
masyarakat tersebut juga relatif biasa-biasa saja.
Selain
dilihat dari kehidupan ekonomi masyarakat pesisir, mereka juga memiliki budaya
yang melimpah. Bagi Bapak Ferdinan Tita yang akrab disapa Bapa Nan, masa
kecilnya di dalam lingkungan kehidupan masyarakat pesisir begitu kaya akan
budaya. Dulu, setiap hari semua anak di Desa Rumahtiga selalu memanfaatkan
pantai sebagai tempat mereka bermain. Jarang sekali dapat dilihat ada anak yang
bermain di hutan. Hampir sebagian besar anak di Desa Rumahtiga menghabiskan
waktu bermainnya di tepi pantai. Berbagai permainan tradisional menjadi pilihan
mereka menghabiskan waktu. Bahkan bukan hanya anak-anak, orang tua juga
turut dalam berbagai jenis permainan
yang sering dilakukan oleh anak-anak mereka. Permainan khas daerah seperti
asen, istilah “baku lempar bola pasir”,
dan berbagai permainan tradisional lainnya yang begitu mengental di zaman dulu
dikembangkan secara baik. Hal inilah yang membuat kehidupan masyarakt pesisir
selalu diwarnai dengan keceriaan walaupun kehidupan sosial ekonomi mereka
terbatas.
Bukan
hanya orang tua yang melakukan proses memancing, sambil bermain di sekitar
pantai, anak-anak biasanya menangkap ikan menggunakan pana-pana dan tombak
serta huhate. Dulu, di sekitar kawasan pantai Rumahtiga, produktifitas ikannya
sangat melimpah. Sehingga sambil bermain di pesisir, anak-anak akan mencari
ikan untuk di bakar. Ikan yang banyak dijumpai seperti ikan puti lai. Selain
itu, pantai Desa Rumahtiga juga memiliki pesisir pantai yang landai, datar, dan
lebar. Sehingga biasanya saat malam minggu, para pemuda dan juga orang tua akan
berkumpul dan duduk di pesisir pantai sambil bernyanyi dan bermain gitar serta
menabuh tifa sambil berdendang bersama.
Istilah
“baku bage” sangat kental dalam
kehidupan masyakat pesisir. Jika ada yang mendapat hasil tangkapan yang
melimpah, ia bahkan tidak segan-segan untuk membagi-bagikan hasil tangkapannya
kepada para tetangga atau masyarakat sekitar. Inilah wujud solidaritas dan
hidup kebersamaan yang sangat khas dalam kehidupan masyarakt pesisir. Cara
hidup seperti ini sangat nampak dalam kehidupan mereka. Bahu membahu saling
menolong di antara kehidupan masyarakat bukan lagi hal yang sulit untuk
dijumpai.
Namun sangat di sayangkan, dengan berjalannya
waktu setiap budaya yang ada semakin terkikis bahkan bisa dikatakan hampir
punah. Kondisi pesisir yang landai dan
dimanfaatkan sebagai tempat duduk bersama juga tidak lagi nampak. Hal ini
dikarenakan dibangunnya talit-talit besar sebagai pembatas ombak. Selain itu,
kondisi alam yang kaya akan ikan tidak lagi terlihat sekarang ini. Dan yang sangat
ironis, berbagai budaya permainan tradisional hilang ditelan masa begitu saja
dan hanya meninggalkan bekas kenangan. Hal ini sangat memprihatinkan. Aktifitas
nelayan di kawasan pesisir juga telah menurun dibandingkan dengan beberapa
puluh tahun yang lalu. Sekarang ini, masyarakat pesisir Desa Rumahtiga hanya
melakukan proses memancing sebagai pekerjaan sambilan. Hanya satu ciri
kehidupan sosial yang masih tetap hidup sampai saat ini yakni alat transportasi
laut “parahu”.
Suatu
hal yang harus kita ketahui bahwa
kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir merupakan suatu kehidupan yang
sederhana tetapi sangat kuat dan memiliki makna yang tinggi, sehingga harus
tetap dijaga dan dikelolah secara baik. Sebab budaya yang baik adalah budaya
yang mengakar dan tetap nampak hidup di dalam kehidupan. Bukan budaya yang
hanya mengakar sebagai kenangan saja.
Sumber: Bapak Ferdinand Tita (Mantan Raja Desa
Rumahtiga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar