“DINAMIKA PERUBAHAN TEKNOLOGI
PERIKANAN DI DESA WAAI”
Disusun oleh :
CYECILIA PICAL (2009 – 63 – 028)
RILEN THENU (2008 – 63 – 037)
STANY WATTIMURY (2008 – 63 – 043)
ALBERTHO BAKARBESSY (2009 – 63 – 040)
PROGRAM STUDI : MSP
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2010
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kehidupan perikanan
Indonesia di awal tahun enam puluhan bisa dikatakan sangat memprihatinkan.
Padahal, Indonesia adalah merupakan Negara maritim yang kaya akan potensi besar
dan berpeluang dalam usaha perikanan terutama dalam pemanfaatan segala hasil
perikanan yang ada.
Satu hal yang sangat prihatin
yakni bisa dilihat pada pengelolaan perikanan di laut yang hanya dilakukan oleh
nelayan-nelayan tradisional, yang terbatas dengan segala peralatan yang masih
sederhana. Pada zaman itu pun bisa dilihat, pendidikan perikanan di Indonesia
juga masih sangat minim jika dibandingkan dengan perkembangan pendidikan
perikanan di negara-negara lainnya.
Saat itu, dr. Aziz Saeh, selaku
Menteri Pertanian dan Agraria juga merasa prihatin dengan keadaan perikanan di
Indonesia terlebih khusus bagi kehidupan nelayan. Menurut beliau, nelayan
Indonesia masih terkebelakang. Kurangnya kemampuan teknik, serta pola
lingkungan sosial dan ekonomi yang masih sempit membuat masyarakat nelayan di
zaman itu hidup secara tertutup dan terkebelakang.
Sejarah mencatat, di tahun enam
puluhan, Satu-satunya usaha perikanan yang berarti hanyalah Perusahaan milik
Pemerintah : “BADAN PIMPINAN UMUM PERIKANAN”, atau disingkat : BPU PERIKANI
dengan Presiden Direktur Imam Sutopo. Perusahaan ini mempunyai kegiatan di
Jakarta, Semarang, Surabaya, Belawan, Aer Tembaga (Manado) dan Ambon .
Melihat wajah perikanan
Indonesia yang tak kunjung membaik bahkan semakin suram, maka di saat itu BPU
PERIKANI berupaya untuk membuat suatu terobosan baru yakni dengan mengadakan
adanya suatu perubahan terhadap kehidupan perikanan yang berdampak pada modernisasi perikanan. Tetapi sekali lagi
ditegaskan bahwa di zaman itu tidaklah
mudah dalam membangkitkan wajah perikanan Indonesia. Hal ini dikarenakan
banyaknya hambatan yang begitu besar. Salah satunya lahir dari tidak adanya
tenaga-tenaga nelayan yang memiliki pendidikan cukup sehingga memadai mereka
dengan kesanggupan merealisasikan modernisasi dalam dunia perikanan.
Dengan berjalannya waktu,
proses dinamika perubahan teknologi perikanan begitu nampak dalam kehidupan
masyarakat nelayan Indonesia terutama saat orientasi pembangunan mulai
diarahkan ke laut. Kemajuan teknologi serta perkembangan ilmu yang pesat di
Indonesia turut mendorong masuknya proses ini. Semuanya juga tidak terlepas
dari campur tangan pemerintah lewat KKP yang terus memantau perkembangan
teknologi perikanan guna mewujudkan modernisasi perikanan yang akan berdampak
pada kesejahteraan masyarakat nelayan Indonesia.
1.2 Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dinamika perubahan teknologi perikanan yang
terjadi di suatu desa terutama Desa Waai yang di dalamnya membahas mengenai sejarah
perkembangan alat tangkap, serta melihat adanya perkembangan formasi sosial yang terjadi dari tahun ke tahun.
2. Untuk memenuhi salah satu nilai tugas Mata Kuliah Sosial Budaya
Masyarakat Pesisir.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Dinamika Perubahan Teknologi Perikanan
Dinamika
adalah suatu perubahan yang terjadi secara terus menerus. Dinamika pun terjadi
di dalam kehidupan kalangan masyarakat pesisir. Hal ini dapat dilihat dari
dinamika perubahan teknologi perikanan yang terus mengalami perkembangan dari
tahun ke tahun. Tentunya, dinamika perubahan dari setiap teknologi perikanan
yang ada, cukup mempengaruhi kebudayaan masyarakat pesisir tersebut. Dampak
yang begitu nampak dari adanya dinamika perubahan teknologi perikanan yakni
dengan munculnya modernisasi perikanan di kalangan masyarakat nelayan.
2.2 Penyebab Perubahan
Teknologi Perikanan
Ada dua penyebab
perubahan teknologi perikanan, antara lain sebagai berikut :
1. Adobsi
Masuknya suatu teknologi
perikanan dengan cara diperkenalkan oleh orang yang membuatnya. Proses adobsi
sendiri berjaln cukup lama hingga masyarakat setempat benar-benar yakin akan
kualitas teknologi yang diadobsi. Karena biasanya masyarakat pesisir bersifat
tertutup atau konserfatif. Biasanya pengadobsian terhadap suatu teknologi juga
disesuaikan dengan budaya sekitar. Jika masyarakat sudah merasa cocok, mereka
akan menggunakan teknologi yang ditawarkan.
2. Inovasi (Penemuan baru)
Adapun terdapat
penemuan-penemuan baru dalam kehidupan masyarakat yang didorong oleh berbagai
hal sebagai berikut :
1. Kesadaran individu akan adanya berbagai
kekurangan yang terdapat di dalam diri masing-masing.
2. Kesadaran
akan pentingnya keahlian dalam diri masing-masing individu.
3. Adanya sistem rangsangan dalam diri masyarakat
yang mendorong mutu seperti kehormatan, kedudukan, dan harga diri.
4. Adanya krisis di dalam masyarakat.
Sifat-sifat
inovasi antaral lain sebagai berikut :
(1)
keuntungan relatif,
(2) kompatibilitas (keterhubungan
dengan nilai budaya),
(3) kompleksitas (kerumitan),
(4) triabilitas (dapat dicoba) serta
(5) observabilitas (dapat diamati).
2.3 Modernisasi
Perikanan
Modernisasi secara umum dapat
digambarkan sebagai proses perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern. Secara istilah, modernisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Depdiknas, 2001) adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga
masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Selain itu,
ditegaskan oleh Koentjaraningrat (1982) bahwa modernisasi dapat dipandang
sebagai proses pengembangan sikap mental berorientasi ke masa depan, berhasrat
menguasai lingkungan, menilai tinggi hasil karya manusia dan sikap lain yang
sejenis.
Yang dimaksud dengan
modernisasi perikanan adalah pengembangan teknologi berupa motorisasi alat dan
bantuan modal perikanan tradisional menjadi sarana yang lebih efektif dan
efisien. Secara sederhana menurut Satria, (2001) modernisasi perikanan
merupakan peralihan cara-cara tradisional dengan teknologi yang lebih modern.
Alih teknologi dapat berupa motorisasi sarana penangkapan yang biasanya disebut
dengan Revolusi Biru, serta bantuan permodalan yang masuk pada komunitas
nelayan.
2.4 Dampak Modernisasi
Perikanan
Adapun dampak
dari modernisasi perikanan terdiri dari 2 bagian yakni dampak positif dan
dampak negatif
a. Dampak Positif
1. Meningkatnya produktivitas hasil perikanan
2. Pendapatan akan semakin meningkat sehingga
terdapat pula dampak bagi produksinya yang semakin meningkat.
3. Terbukanya lapangan kerja yang baru.
b. Dampak Negatif
1. Adanya modernisasi perikanan terutama yang
berhubungan langsung dengan alat tangkap, sering kali disalahgunakan oleh
masyarakat. Hal ini dapat terlihat pada proses penangkapan yang biasanya
melebihi kapasitas atau tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga terjadi
eksploitasi terhadap sumber daya laut yang ada.
2. Data
peningkatan produksi tersebut hanya memberikan keuntungan ekonomis pada pemilik
alat produksi modern baik nelayan maupun bukan nelayan. Faktor tersebut tidak
hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia,
modal akses dan jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan
sebagai produsen, tetapi juga oleh dampak modernisasi perikanan.
3. Kalangan nelayan strata atas sajalah yang
lebih siap untuk memasuki sistem kelembagaan baru karena adanya motorisasi alat
tangkap yang menyebabkan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar antara nelayan
dan juragan.
Dengan berjalannya waktu,
modernisasi perikanan memberikan perubahan
dalam struktur sosial masyarakat, hal ini dikarenakan :
(1) Munculnya
organisasi-organisasi sosial baru dengan beragam tujuan dan kepentingan,
(2) Munculnya
profesi-profesi (vocations) baru akibat tumbuhnya industri pengolahan
perikanan (cold stroge),
industri pengasinan, industri perbengkelan perahu, pasar perikanan (tempat pelelangan ikan)
(3) Adanya
perubahan dalam kelembagaan kerja usaha penangkapan
(4) Perubahan
sistem produksi yang dulunya subsisten menjadi tata produksi yang bersifat komersil
maupun kapitalis, dan
(5) Masih
bertahannya sebagian kecil nelayan tradisional dan post-tradisonal
2.5 Formasi Sosial
Menurut
Budiman, 1995, formasi sosial (social formation)
dalam masyarakat, berupa hadirnya dua atau lebih cara produksi secara bersamaan
dan salah satu cara produksi mendominasi cara lainnya.
Konsep pokok cara produksi atau cara berproduksi (mode
of production) terdiri dari
a. Kekuatan produksi, berupa gabungan dari alat produksi
(means of production), baik manusianya, kecakapan manusia, maupun pengalaman
kerja dari manusia tersebut.
b. Hubungan-hubungan produksi (relation of production), mencakup
hubungan kerja sama, pembagian kerja, maupun pola bagi hasil atau upah yang
berlaku.
III.
METODE PENULISAN
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menggunakan dua metode yakni metode wawancara
dan metode kepustakaan.
1. Metode
Wawancara
Hari
/ Tanggal : Minggu, 30 Mei 2010
Waktu : 14.00 – 18.00 WIT
Lokasi : Desa Waai
Narasumber : 1. Max Reiwaru (75 tahun)
2. Isaac Papilaja (34 tahun)
Melalui metode ini penulis berusaha mendapatkan data
mengenai dinamika perubahan teknologi perikanan yang terus terjadi sejak
tahun 1970-an – sekarang di Desa Waai.
2. Metode
Kepustakaan
Dengan
metode kepustakaan penulis mengkaji setiap informasi yang diterima melalui
metode wawancara yang telah dilakukan lebih awal.
IV. P E M B A H A S A N
4.1. Sejarah
Perikanan di Desa Waai
Dinamika perubahan
teknologi perikanan juga nampak terlihat dalam kehidupan nelayan di desa Waai.
Hal ini dapat dibuktikan lewat perkembangan alat tangkap dan cara tangkap yang
terus menerus mengalami perubahan dari waktu ke waktu .
● Tahun
1970-an
Pada
tahun 1970-an, alat-alat tangkap yang digunakan pada saat itu diantaranya
adalah jaring dara, jaring tasi, arumbae ,perahu, dan bubu (trap). Bahan atau
umpan yang digunakan juga masi secara alami yang diambil dari ikan-ikan kecil
contohnya ikan puri, kumang, cacing-cacingan.
Proses
penangkapan dengan menggunakan jaring dara atau jala dapat dilakukan dengan
pertama-tama nelayan pada zaman dahulu harus memantau lokasi bagian pesisir
dimana terdapatnya ikan untuk dijala. Setelah mendapatkan lokasi yang tepat,
jaring yang disertai umpan dibuang di daerah tersebut. Biasanya nelayan akan
menunggu beberapa jam hingga jala tersebut menghasilkan ikan. Setalah ikan
dihasilkan, jaring pun ditarik ke daratan. Dengan menggunakan jaring dara,
jenis ikan yang dihasilkan berupa ikan make, ikan putilai, dan ikan komu. Pada
tahun 1970-an cara ini masih produktif karena dapat menghasilkan hasil
tangkapan dengan jumlah yang banyak. Berdasarkan informasi dari narasumber yang
diwawancara, saat penarikan jala dilakukan, ikan yang dihasilkan berpuluh-puluh
bakol dan biasanya dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitar karena jumlahnya
yang sangat banyak.
Selain
menggunakan jaring dara, pada tahun 1970-an nelayan di Desa Waai juga
menggunakan perahu dan arumbae sebagai sarana penangkapan ikan. Biasanya mereka
juga menggunakan jaring tasi untuk mendapatkan ikan. Proses penangkapannya
dimulai dengan jaring tasi dibuang kelaut tanpa umpan. Cara untuk mendapatkan
ikan yaitu biasanya nelayan mmbuang batu di dalam daerah jaring agar ikan bisa
masuk ke jaring. Batu tersebut digunakan oleh nelayan sebagai umpan dalam
mengelabui ikan yang akan ditangkap. Setelah beberapa saat, ikan akan masuk ke
dalam jaring tersebut, dan pada saat itu juga jaring diangkat. Jika menggunakan
prahu dan arumbae, nelayan Desa Waai biasanya menangkap ikan pada daerah laut
di sekitar Desa Waai. Sama seperti hasil tangkapan dengan menggunakan jaring
dara, hasil tangkapan dengan menggunakan arumbae maupun perahu di tahun 1970-an
masih sangat melimpah.
● Tahun
1980-an
Di tahun 1980-an di Desa Waai terjadi
peningkatan alat tangkap yakni seperti adanya body dengan 1 mesin, jaring dara,
jaring toko (jaring yang dibeli dari toko), sero, perahu, dan arumbae.
Proses
penangkapan dengan menggunakan jaring dara sama saja dengan proses penangkapan
yang dilakukan di tahun 1970-an. Hasil tangkapan masih banyak. Tapi di akhir
tahun 1980-an, penangkapan dengan menggunkan jaring dara mengalami penurunan
hasil. Hal ini dipengaruhi oleh pembangunan pemukiman rakyat setempat yang
sudah mulai sampai kepada daerah pesisir pantai.
Penangkapan
yang menggunakan perahu dan arumbae caranya tidak berbeda jauh dengan cara
penangkapan di tahun 1970-an. Hanya saja terdapat perbedaan dalam penggunaan
jaring. Pada tahun 1980-an terdapat peningkatan yang terlihat jelas pada
jaring. Masyarakat nelayan setempat sudah mulai menangkap ikan dengan
menggunakan jaring yang dibeli jadi dari toko. Lokasi dan hasil penangkapan pun
tidak berbeda jauh.
Yang
berbeda di tahun 1980-an, masyarakat nelayan Desa Waai juga sudah mulai
memanfaatkan body sebagai sarana penunjang dalam menangkap ikan. Dalam proses
penangkapan dengan menggunakan body, biasanya nelayan juga dibantu oleh salah
satu alat penangkapan tradisional yang terbuat dari gaba-gaba yang disebut
sero. Biasanya sero di tempatkan pada
titik-titik tertentu di laut yang diprediksi oleh nelayan titik-titik tersebut
memiliki kandungan ikan yang cukup tinggi. Jika menggunakan sero, nelayan akan
menggunakan lampu petromaks atau pelita sebagai umpan agar ikan masuk ke sero.
Jadi di sero, ikan seperti di tampung. Body sendiri difungsikan untuk mengambil
hasil tangkapan dari sero. Nelayan di Desa Waai pada malam hari akan pergi ke
tempat terdapatnya sero. Dan pada waktu pagi yakni subuh, sudah kembali ke
daratan dengan membawa hasil tangkapan yang sangat melimpah. Ada empat titik
dimana biasanya nelayan Waai meletakkan sero yakni di Laut Seram, Perairan
Naku, Perairan Eri, dan terutama di Perairan Waai.
● Tahun
1990-an
Di
tahun 1990-an peningkatan alat tangkap semakin pesat. Hal ini dapat dilihat
lewat penambahan mesin pada body dari 1 mesin menjadi 3 mesin. Alat tangkap
lainnya masih relatif sama yakni masi adanya perahu, arumbae, body. Tetapi,
pada tahun 1990-an, masyarakat nelayan di Desa Waai tidak lagi menggunakan
jaring dara dalam proses penangkapan.
Di
tahun 1990-an hasil penangkapan yang di dapatkan sudah mulai menurun. Hal ini
bisa dilihat lewat jaring dara yang tidak lagi dimanfaatkan oleh masyarakat
sekitar. Selain itu, berdasarkan pengakuan narasumber kami yang benama Bapak
Max Reiwaru yang juga memiliki beberapa body, pada tahun 1980-an sero miliknya
yang dulu berada di sekitar kawasan perairan Seram, Naku, Seri dan Waai, di
tahun 1990-an hanya tersisa di sekitar perairan Seram dan Waai. Hal ini diakui
karena adanya penurunan produktifitas dari ikan di beberapa titik seperti di
perairan Seri dan Naku.
● Tahun
2000-an
Di
tahun 2000-an peningkatan alat tangkap juga terus terjadi. Alat-alat yang ada
seperi body atau boat, masih terdapat perahu dan arumbae, sero, jaring, dan
juga terdapat salah satu cara penampungan ikan yang baru yakni bagan.
4.2 Formasi
Sosial
Formasi
sosial merupakan akibat dari adanya mdernisasi yang dapat menyebabkan perubahan
sosial dalam kehidupan masyarakat. Formasi sosial ini juga terlihat dalam
kehidupan masyarakat nelayan di Desa Waai yang terjadi akibat adanya
modernisasi perikanan.
● Tahun
1970-an
Di tahun 1970-an, formasi sosial yang terjadi
masih relatif biasa. Hal ini dapat dibuktikan dengan alat-alat tangkap yang
masih sederhana. Sehingga masih lemah dalam menunjang kekuatan produksi.
Sebagai contoh adalah penggunaan jaring dara yang produktif di tahun 1970-an.
Di tahun 1980-an hingga tahun 1990-an jaring dara tidak lagi mampu bersaing
dengan keadaan alam pesisir yang semakin lemah produktifitasnya. Untuk itu, di
akhir tahun 1980-an hingga 1990-an terlihat jelas bahwa kekuatan produksi
jaring dara menurun sehingga tidak lagi digunakan.
Jaring
dara yang digunakan sebagai penunjang kekuatan produksi di tahun 1970-an
merupakan suatu alat tangkap yang lahir dari hasil adobsi berdasarkan
pengamatan perkembangan tangkap di daerah lainnya.
Berdasarkan
sarana tangkap yang digunakan berupa perahu dan arumbae, sistem kerja dan bagi
hasilnya sangat tidak nampak. Karena sebagian besar masyarakat nelayan Desa
Waai memiliki sarana ini, sehingga dalam proses kerjanya bersifat pribadi dan
milik sendiri.
Proses
bagi hasil perahu dan arumbae jelas berbeda dengan jaring dara. Di tahun
1970-an lewat jaring dara bisa dilihat proses bagi hasil yang nampak. Tetapi juga belum bersifat struktural atau
bisa dikatakan belum terstruktur secara baik. Sebagian besar pemilik dari
jaring dara adalah merupakan kalangan keluarga, sehingga bagi hasil dilakukan
secara merata berdasarkan jumlah kepala keluarga yang memilikinya. Bahkan jika
hasilnya melimpah, ikan akan dibagi-bagikan kepada kepada para tetangga atau
masyarakat sekitar sebagai bentuk wujud kekeluargaan dalam kalangan masyarakat
nelayan.
● Tahun
1980-an
Di
tahun 1980-an ini terjadi peningkatan sarana transportasi perikanan yakni mulai
digunakannya body oleh masyarakat nelayan di desa Waai. Berdasarkan wawancara
yang dilakukan, didapatkan informasi bahwa proses perkembangan alat
transportasi ini juga tidak berjalan secepat yang dipikirkan. Awalnya,
masyarakat nelayan Desa Waai mengenal body dari nelayan Suku Buton yang
melakukan proses tangkap di sekitar perairan Desa Waai. Mereka bahkan pada
awalnya turut bekerja pada body yang dimilki oleh nelayan Suku Buton. Dengan
berjalannya waktu, proses adobsi kemudian semakin hari semakin berkembang dalam
kehidupan nelayan masyarakat Desa Waai. Dengan istilah “mencuri-curi ilmu”,
masyarakat nelayan Desa Waai kemudian membuat body milik mereka sendiri dan
berusaha mengoperasikannya guna pengembangan proses tangkap yang menjadi sumber
kehidupan ekonomi mereka. Ditunjang dengan pengalaman kerja yang telah
dimiliki, tidak dapat dipungkiri bahwa formasi sosial dalam kehidupan perikanan
masyarakat nelayan Desa Waai mengalami perkembangan menuju arah yang lebih
baik. Hal ini bisa dilihat melalui kekuatan produksi yang semakin diperkuat
dengan digunakannya body sebagai sarana penangkapan.
Selain,
adanya peningkatan sarana tangkap dengan hadirnya body dalam kehidupan
masyarakat nelayan Desa Waai, Sero juga merupakan salah satu sarana tradisional
yang terbuat dari gaba-gaba dan digunakan nuntuk menampung ikan. Alat tangkap
ini walaupun tradisional, kehadirannya sangat membantu proses tangkap bagi
nelayan di Desa Waai. Kehadiran Sero di Desa Waai sendiri merupakan suatu hasil
adobsi. Hal ini berkembang dari berbagai
pengamatan yang dilakukan terhadap daerah-daerah tangkap lainnya yang
juga sukses dengan memfungsikan sero sebagai sarana tangkap mereka. Setelah
dilakukan penyesuaian, ternyata masyarakat nelayan Desa Waai merasa cocok
dengan kehadiran sero sebagai salah satu sarana tangkap mereka. Dengan itu,
mulailah mereka menggunakan sero terus menerus hingga saat ini.
Hubungan
produksi di tahun 1980-an jelas berbeda dengan tahun 1970-an dikarenakan sarana
tangkap yang digunakan juga pada
dasarnya berbeda. Di tahun 1980-an, mulai dimanfaatkan body dengan jumlah
pekerja yang jauh berbeda jika menggunakan perahu atau pun arumbae. Hal ini
mulai mempengaruhi hubungan produksi yang ada. Masyarakat nelayan Desa Waai
mulai bekerja secara berkelompok. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh
informasi bahwa sekali beroperasi dengan 1 body biasanya ABK atau mosnat yang
bekerja sebanyak 25 orang. Adapun pembagian kerjanya adalah sebagai berikut :
-
1 orang tanase (Pengemudi body)
-
3 orang di sero
-
14 orang di body
-
2 orang bertugas membuang jaring timah
-
3 orang bertugas membuang isi jaring
-
2 orang bertugas membuang palompong
Karena
terdapat pembagian kerja yang mulai terstruktur, maka terdapat pula pembagian
hasilnya. Di tahun 1980-an pembagian hasil dilakukan dengan cara bagi 3 semua
hasil bersih dari 1 kali proses operasi tangkap. Ada tiga item pembagian hasil
antara lai :
1. Body (termasuk pemilik dan biaya mesin)
2. Sero (Karena biasanya body mengambil hasil
pada sero yang adalah tempat penampungan ikan)
3. Mosnat atau ABK
Pembagian
hasil pada mosnat disesuaikan dengan peran setiap orang dalam menjalankan
tugasnya.
● Tahun
1990-an
Perkembangan
yang baik terhadap formasi sosial masyarakat pesisir Desa Waai bisa dilihat di
tahun 1990-an. Dengan adanya perkembangan teknologi, masyarakat nelayan Desa
Waai merasa bahwa body dengan 1 mesin tidak lagi sanggup untuk membantu mereka
dalam meningkatkan kekuatan produksi. Untuk itu, berdasarkan pengamatan
terhadap perkembangan tangkap, mereka mulai meningkatkan kekuatan produksinya
dengan menggunakan 3 mesin pada body yang dioperasikan. Bisa dikatakan, proses
perkembangan ini juga merupakan proses adobsi terhadap perkembangan teknologi di
kalangan masyarakat nelayan.
Dengan peningkatan
mesin yang digunakan, tentunya kekuatan produksi juga meningkat. Tetapi pada
dasarnya, pembagian kerja dan pembagian hasil tidak berbeda jauh dari tahun ke
tahun.
● Tahun
2000-an
Di
abad 20 ini perkembangan teknologi terus terjadi. Sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa perkembangan formasi sosial di kalangan masyarakat nelayan
Desa Waai juga meningkat. Mereka mulai ditunjang dengan sarana-sarana
penangkapan yang memadai seperti penggunaan boat atau pun body dengan kapasitas
besar. Mereka juga sudah mulai dilengkapi dengan pengetahuan perikanan yang
mulai matang. Hal ini bisa diamati lewat kecakapan kerja yang mereka miliki.
Dengan adanya pengalaman kerja dari
tahun ke tahun membuat masyarakat nelayan Desa Waai semakin berkembang dalam
pola pikir. Sehingga berbagai perubahan
teknologi berusaha mereka sesuaikan dengan kebutuhan kerja mereka.
Tentunya
penggunaan sarana tangkap seperti body atau boat memberikan dampak bagi proses
pembagian kerja dan juga proses bagi hasil di lapangan. Berbeda dengan tahun
1997-an hingga 1980-an yang
produktifitas ikannya secara
alami masih tinggi. Di tahun 2000-an produktfitas ikan di perairan Maluku
diakui mulai menurun. Untuk itu di tahun 2000-an sangat dibutuhkan skill kerja
yang tinggi dan terus meningkat dari nelayan.
Hingga tahun 2000-an
yakni sampai sekarang, pembagian hasil dan pembagian kerja memiliki sistem yang
sama sejak digunakannya body atau boat. Hanya saja yang berbeda, walaupun
memiliki jumlah tenaga kerja yang sama, namun dari tahun ke tahun skill kerja
dari para nelayan terus ditingkatkan.
V. KESIMPULAN
Dari
penulisan makalah yang telah dilakukaan, dapat disimpulkan bahwa dinamika
perubahan teknologi perikanan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Perubahan ini mengakibatkan adanya modernisasi perikanan di Desa Waai. Di bawah
ini adalah beberapa dampak modernisasi perikanan di Desa Waai antara lain
sebagai berikut:
● Sejarah
Alat tangkap yang digunakan sejak tahun 1970-an sampai tahun 2000-an mengalami peningkatan yang jelas ditunjang
dengan peningkatan teknologi yang terus berjalan. Peningkatan ini melalui cara
adobsi berdasarkan pengamatan terhadap beberapa Desa nelayan lainnya.
● Formasi
sosial masyarakat nelayan Desa Waai juga mengalami peningkatan. Hal ini dilihat
pada kekuatan produksi dan hubungan produksi yang terus berkembang. Di tahun
1970-an formasi sosial masyarakat nelayan Desa Waai masih sangat sederhana dan
belum terstrukur secara baik. Namun dengan berjalannya waktu hingga sekarang
ini yakni tahun 2000-an, formasi sosialnya menjadi semakin terarah dan
terstruktur secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://ikanbijak.wordpress.com/2009/01/17/pengantar-sosiologi-masyarakat-pesisir/(Senin, 14 Juni 2010, Pukul 20.00
WIT)
http://andiadriarief.blogspot.com/ (Senin, 14 Juni 2010, Pukul 20.00
WIT)
http://www.scribd.com/doc/19239234/Modernisasi-Perikanan (Senin, 14 Juni 2010, Pukul 20.00
WIT)
http://www.scribd.com/doc/19239259/PROBLEMATIKA-MODERNISASI-PERIKANAN (Senin, 14 Juni 2010, Pukul 20.30
WIT)
http://www.scribd.com/doc/21107209/Studi-Pustaka-Formasi-Sosial-Dan-Artikulasi-Modernisasi-Perikanan (Rabu, 16 Juni 2010, Pukul 12.00
WIT)
http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/8204/1/2008aha2.pdf (Selasa, 22 juni 2010 20.30 WIT)
Wawancara langsung dengan Bapak Isaac Papilaja selaku nelayan di Waai.
Titanium Watch | Tithroid Technologies, Inc.
BalasHapusWe're titanium ring for men excited citizen titanium watch to announce apple watch stainless steel vs titanium the latest product. ecm titanium Titanium Watch titanium bike frame is a premium stylish companion that will let you wear our original, stainless steel watches.