Jumat, 30 Maret 2012


 

“DINAMIKA PERUBAHAN TEKNOLOGI PERIKANAN DI DESA WAAI”


Disusun oleh :
CYECILIA PICAL (2009 – 63 – 028)
RILEN THENU (2008 – 63 – 037)
STANY WATTIMURY (2008 – 63 – 043)
ALBERTHO BAKARBESSY (2009 – 63 – 040)
PROGRAM STUDI : MSP


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2010


 

I.  PENDAHULUAN
                                                                                                                                                           
1.1   Latar Belakang
                       
                        Kehidupan perikanan Indonesia di awal tahun enam puluhan bisa dikatakan sangat memprihatinkan. Padahal, Indonesia adalah merupakan Negara maritim yang kaya akan potensi besar dan berpeluang dalam usaha perikanan terutama dalam pemanfaatan segala hasil perikanan yang ada.
                
                 Satu hal yang sangat prihatin yakni bisa dilihat pada pengelolaan perikanan di laut yang hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional, yang terbatas dengan segala peralatan yang masih sederhana. Pada zaman itu pun bisa dilihat, pendidikan perikanan di Indonesia juga masih sangat minim jika dibandingkan dengan perkembangan pendidikan perikanan di negara-negara lainnya.
                
                 Saat itu, dr. Aziz Saeh, selaku Menteri Pertanian dan Agraria juga merasa prihatin dengan keadaan perikanan di Indonesia terlebih khusus bagi kehidupan nelayan. Menurut beliau, nelayan Indonesia masih terkebelakang. Kurangnya kemampuan teknik, serta pola lingkungan sosial dan ekonomi yang masih sempit membuat masyarakat nelayan di zaman itu hidup secara tertutup dan terkebelakang.

                 Sejarah mencatat, di tahun enam puluhan, Satu-satunya usaha perikanan yang berarti hanyalah Perusahaan milik Pemerintah : “BADAN PIMPINAN UMUM PERIKANAN”, atau disingkat : BPU PERIKANI dengan Presiden Direktur Imam Sutopo. Perusahaan ini mempunyai kegiatan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Belawan, Aer Tembaga (Manado) dan Ambon .

                 Melihat wajah perikanan Indonesia yang tak kunjung membaik bahkan semakin suram, maka di saat itu BPU PERIKANI berupaya untuk membuat suatu terobosan baru yakni dengan mengadakan adanya suatu perubahan terhadap kehidupan perikanan yang berdampak pada  modernisasi perikanan. Tetapi sekali lagi ditegaskan bahwa  di zaman itu tidaklah mudah dalam membangkitkan wajah perikanan Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya hambatan yang begitu besar. Salah satunya lahir dari tidak adanya tenaga-tenaga nelayan yang memiliki pendidikan cukup sehingga memadai mereka dengan kesanggupan merealisasikan modernisasi dalam dunia perikanan.
                 Dengan berjalannya waktu, proses dinamika perubahan teknologi perikanan begitu nampak dalam kehidupan masyarakat nelayan Indonesia terutama saat orientasi pembangunan mulai diarahkan ke laut. Kemajuan teknologi serta perkembangan ilmu yang pesat di Indonesia turut mendorong masuknya proses ini. Semuanya juga tidak terlepas dari campur tangan pemerintah lewat KKP yang terus memantau perkembangan teknologi perikanan guna mewujudkan modernisasi perikanan yang akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat nelayan Indonesia.


1.2   Tujuan

                        Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
        1.  Untuk mengetahui dinamika perubahan teknologi perikanan yang terjadi di suatu desa terutama Desa Waai yang di dalamnya membahas mengenai sejarah perkembangan alat tangkap, serta melihat adanya perkembangan formasi sosial  yang terjadi dari tahun ke tahun.
        2.  Untuk memenuhi salah satu nilai tugas Mata Kuliah Sosial Budaya Masyarakat Pesisir.

II.  TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dinamika Perubahan Teknologi Perikanan

                        Dinamika adalah suatu perubahan yang terjadi secara terus menerus. Dinamika pun terjadi di dalam kehidupan kalangan masyarakat pesisir. Hal ini dapat dilihat dari dinamika perubahan teknologi perikanan yang terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Tentunya, dinamika perubahan dari setiap teknologi perikanan yang ada, cukup mempengaruhi kebudayaan masyarakat pesisir tersebut. Dampak yang begitu nampak dari adanya dinamika perubahan teknologi perikanan yakni dengan munculnya modernisasi perikanan di kalangan masyarakat nelayan.

2.2 Penyebab Perubahan Teknologi Perikanan

        Ada dua penyebab perubahan teknologi perikanan, antara lain sebagai berikut :
        1.  Adobsi
            Masuknya suatu teknologi perikanan dengan cara diperkenalkan oleh orang yang membuatnya. Proses adobsi sendiri berjaln cukup lama hingga masyarakat setempat benar-benar yakin akan kualitas teknologi yang diadobsi. Karena biasanya masyarakat pesisir bersifat tertutup atau konserfatif. Biasanya pengadobsian terhadap suatu teknologi juga disesuaikan dengan budaya sekitar. Jika masyarakat sudah merasa cocok, mereka akan menggunakan teknologi yang ditawarkan.

        2.  Inovasi (Penemuan baru)
            Adapun terdapat penemuan-penemuan baru dalam kehidupan masyarakat yang didorong oleh berbagai hal sebagai berikut :
            1.  Kesadaran individu akan adanya berbagai kekurangan yang terdapat di dalam diri masing-masing.
            2.  Kesadaran  akan pentingnya keahlian dalam diri masing-masing individu.
            3.  Adanya sistem rangsangan dalam diri masyarakat yang mendorong mutu seperti kehormatan, kedudukan, dan harga diri.
            4.  Adanya krisis di dalam masyarakat.

            Sifat-sifat inovasi antaral lain sebagai berikut :
            (1) keuntungan relatif,
            (2) kompatibilitas (keterhubungan dengan nilai budaya),
            (3) kompleksitas (kerumitan),
            (4) triabilitas (dapat dicoba) serta
            (5) observabilitas (dapat diamati).


2.3 Modernisasi Perikanan
                 Modernisasi secara umum dapat digambarkan sebagai proses perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Secara istilah, modernisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2001) adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Selain itu, ditegaskan oleh Koentjaraningrat (1982) bahwa modernisasi dapat dipandang sebagai proses pengembangan sikap mental berorientasi ke masa depan, berhasrat menguasai lingkungan, menilai tinggi hasil karya manusia dan sikap lain yang sejenis.

                 Yang dimaksud dengan modernisasi perikanan adalah pengembangan teknologi berupa motorisasi alat dan bantuan modal perikanan tradisional menjadi sarana yang lebih efektif dan efisien. Secara sederhana menurut Satria, (2001) modernisasi perikanan merupakan peralihan cara-cara tradisional dengan teknologi yang lebih modern. Alih teknologi dapat berupa motorisasi sarana penangkapan yang biasanya disebut dengan Revolusi Biru, serta bantuan permodalan yang masuk pada komunitas nelayan.

2.4 Dampak Modernisasi Perikanan

        Adapun dampak dari modernisasi perikanan terdiri dari 2 bagian yakni dampak positif dan dampak negatif

        a.  Dampak Positif
            1.  Meningkatnya produktivitas hasil perikanan
            2.  Pendapatan akan semakin meningkat sehingga terdapat pula dampak bagi produksinya yang semakin meningkat.
            3.  Terbukanya lapangan kerja yang baru.


        b.  Dampak Negatif
            1.   Adanya modernisasi perikanan terutama yang berhubungan langsung dengan alat tangkap, sering kali disalahgunakan oleh masyarakat. Hal ini dapat terlihat pada proses penangkapan yang biasanya melebihi kapasitas atau tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga terjadi eksploitasi terhadap sumber daya laut yang ada.
            2.   Data peningkatan produksi tersebut hanya memberikan keuntungan ekonomis pada pemilik alat produksi modern baik nelayan maupun bukan nelayan. Faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal akses dan jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga oleh dampak modernisasi perikanan.

            3.   Kalangan nelayan strata atas sajalah yang lebih siap untuk memasuki sistem kelembagaan baru karena adanya motorisasi alat tangkap yang menyebabkan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar antara nelayan dan juragan.

Dengan berjalannya waktu, modernisasi perikanan memberikan  perubahan dalam struktur sosial masyarakat, hal ini dikarenakan :
(1)   Munculnya organisasi-organisasi sosial baru dengan beragam tujuan dan kepentingan,
(2)   Munculnya profesi-profesi (vocations) baru akibat tumbuhnya industri pengolahan perikanan (cold stroge), industri pengasinan, industri perbengkelan perahu, pasar perikanan (tempat pelelangan ikan)
(3)   Adanya perubahan dalam kelembagaan kerja usaha penangkapan
(4)   Perubahan sistem produksi yang dulunya subsisten menjadi tata produksi yang bersifat komersil maupun kapitalis, dan
(5)   Masih bertahannya sebagian kecil nelayan tradisional dan post-tradisonal

2.5 Formasi Sosial
Menurut Budiman, 1995, formasi sosial (social formation) dalam masyarakat, berupa hadirnya dua atau lebih cara produksi secara bersamaan dan salah satu cara produksi mendominasi cara lainnya. 
Konsep pokok cara produksi atau cara berproduksi (mode of production) terdiri dari
a.   Kekuatan produksi, berupa gabungan dari alat produksi (means of production), baik manusianya, kecakapan manusia, maupun pengalaman kerja dari manusia tersebut.
b.   Hubungan-hubungan produksi (relation of production), mencakup hubungan kerja sama, pembagian kerja, maupun pola bagi hasil atau upah yang berlaku.







           

III.  METODE PENULISAN

            Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan dua metode yakni metode wawancara dan metode kepustakaan.

1.     Metode Wawancara
        Hari / Tanggal    : Minggu, 30 Mei 2010
        Waktu                 : 14.00 – 18.00 WIT
        Lokasi                 : Desa Waai
        Narasumber       :  1.  Max Reiwaru (75 tahun)
                                      2.  Isaac Papilaja (34 tahun)

                                   Melalui  metode ini penulis berusaha mendapatkan data mengenai dinamika perubahan teknologi perikanan yang terus terjadi sejak tahun  1970-an – sekarang di Desa Waai.

2.     Metode Kepustakaan
                                   Dengan metode kepustakaan penulis mengkaji setiap informasi yang diterima melalui metode wawancara yang telah dilakukan lebih awal.

       
IV.  P E M B A H A S A N

4.1.  Sejarah Perikanan di Desa Waai

                                   Dinamika perubahan teknologi perikanan juga nampak terlihat dalam kehidupan nelayan di desa Waai. Hal ini dapat dibuktikan lewat perkembangan alat tangkap dan cara tangkap yang terus menerus mengalami perubahan dari waktu ke waktu .

          Tahun 1970-an
                                   Pada tahun 1970-an, alat-alat tangkap yang digunakan pada saat itu diantaranya adalah jaring dara, jaring tasi, arumbae ,perahu, dan bubu (trap). Bahan atau umpan yang digunakan juga masi secara alami yang diambil dari ikan-ikan kecil contohnya ikan puri, kumang, cacing-cacingan.
                                   Proses penangkapan dengan menggunakan jaring dara atau jala dapat dilakukan dengan pertama-tama nelayan pada zaman dahulu harus memantau lokasi bagian pesisir dimana terdapatnya ikan untuk dijala. Setelah mendapatkan lokasi yang tepat, jaring yang disertai umpan dibuang di daerah tersebut. Biasanya nelayan akan menunggu beberapa jam hingga jala tersebut menghasilkan ikan. Setalah ikan dihasilkan, jaring pun ditarik ke daratan. Dengan menggunakan jaring dara, jenis ikan yang dihasilkan berupa ikan make, ikan putilai, dan ikan komu. Pada tahun 1970-an cara ini masih produktif karena dapat menghasilkan hasil tangkapan dengan jumlah yang banyak. Berdasarkan informasi dari narasumber yang diwawancara, saat penarikan jala dilakukan, ikan yang dihasilkan berpuluh-puluh bakol dan biasanya dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitar karena jumlahnya yang sangat banyak.
                                   Selain menggunakan jaring dara, pada tahun 1970-an nelayan di Desa Waai juga menggunakan perahu dan arumbae sebagai sarana penangkapan ikan. Biasanya mereka juga menggunakan jaring tasi untuk mendapatkan ikan. Proses penangkapannya dimulai dengan jaring tasi dibuang kelaut tanpa umpan. Cara untuk mendapatkan ikan yaitu biasanya nelayan mmbuang batu di dalam daerah jaring agar ikan bisa masuk ke jaring. Batu tersebut digunakan oleh nelayan sebagai umpan dalam mengelabui ikan yang akan ditangkap. Setelah beberapa saat, ikan akan masuk ke dalam jaring tersebut, dan pada saat itu juga jaring diangkat. Jika menggunakan prahu dan arumbae, nelayan Desa Waai biasanya menangkap ikan pada daerah laut di sekitar Desa Waai. Sama seperti hasil tangkapan dengan menggunakan jaring dara, hasil tangkapan dengan menggunakan arumbae maupun perahu di tahun 1970-an masih sangat melimpah.

          Tahun 1980-an
                                      Di tahun 1980-an di Desa Waai terjadi peningkatan alat tangkap yakni seperti adanya body dengan 1 mesin, jaring dara, jaring toko (jaring yang dibeli dari toko), sero, perahu, dan arumbae.
                                   Proses penangkapan dengan menggunakan jaring dara sama saja dengan proses penangkapan yang dilakukan di tahun 1970-an. Hasil tangkapan masih banyak. Tapi di akhir tahun 1980-an, penangkapan dengan menggunkan jaring dara mengalami penurunan hasil. Hal ini dipengaruhi oleh pembangunan pemukiman rakyat setempat yang sudah mulai sampai kepada daerah pesisir pantai.
                                   Penangkapan yang menggunakan perahu dan arumbae caranya tidak berbeda jauh dengan cara penangkapan di tahun 1970-an. Hanya saja terdapat perbedaan dalam penggunaan jaring. Pada tahun 1980-an terdapat peningkatan yang terlihat jelas pada jaring. Masyarakat nelayan setempat sudah mulai menangkap ikan dengan menggunakan jaring yang dibeli jadi dari toko. Lokasi dan hasil penangkapan pun tidak berbeda jauh.
                                   Yang berbeda di tahun 1980-an, masyarakat nelayan Desa Waai juga sudah mulai memanfaatkan body sebagai sarana penunjang dalam menangkap ikan. Dalam proses penangkapan dengan menggunakan body, biasanya nelayan juga dibantu oleh salah satu alat penangkapan tradisional yang terbuat dari gaba-gaba yang disebut sero.  Biasanya sero di tempatkan pada titik-titik tertentu di laut yang diprediksi oleh nelayan titik-titik tersebut memiliki kandungan ikan yang cukup tinggi. Jika menggunakan sero, nelayan akan menggunakan lampu petromaks atau pelita sebagai umpan agar ikan masuk ke sero. Jadi di sero, ikan seperti di tampung. Body sendiri difungsikan untuk mengambil hasil tangkapan dari sero. Nelayan di Desa Waai pada malam hari akan pergi ke tempat terdapatnya sero. Dan pada waktu pagi yakni subuh, sudah kembali ke daratan dengan membawa hasil tangkapan yang sangat melimpah. Ada empat titik dimana biasanya nelayan Waai meletakkan sero yakni di Laut Seram, Perairan Naku, Perairan Eri, dan terutama di Perairan Waai.

          Tahun 1990-an
                                   Di tahun 1990-an peningkatan alat tangkap semakin pesat. Hal ini dapat dilihat lewat penambahan mesin pada body dari 1 mesin menjadi 3 mesin. Alat tangkap lainnya masih relatif sama yakni masi adanya perahu, arumbae, body. Tetapi, pada tahun 1990-an, masyarakat nelayan di Desa Waai tidak lagi menggunakan jaring dara dalam proses penangkapan.

                                   Di tahun 1990-an hasil penangkapan yang di dapatkan sudah mulai menurun. Hal ini bisa dilihat lewat jaring dara yang tidak lagi dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Selain itu, berdasarkan pengakuan narasumber kami yang benama Bapak Max Reiwaru yang juga memiliki beberapa body, pada tahun 1980-an sero miliknya yang dulu berada di sekitar kawasan perairan Seram, Naku, Seri dan Waai, di tahun 1990-an hanya tersisa di sekitar perairan Seram dan Waai. Hal ini diakui karena adanya penurunan produktifitas dari ikan di beberapa titik seperti di perairan Seri dan Naku.

          Tahun 2000-an
                                   Di tahun 2000-an peningkatan alat tangkap juga terus terjadi. Alat-alat yang ada seperi body atau boat, masih terdapat perahu dan arumbae, sero, jaring, dan juga terdapat salah satu cara penampungan ikan yang baru yakni bagan.
                                  
4.2                            Formasi Sosial

            Formasi sosial merupakan akibat dari adanya mdernisasi yang dapat menyebabkan perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Formasi sosial ini juga terlihat dalam kehidupan masyarakat nelayan di Desa Waai yang terjadi akibat adanya modernisasi perikanan.

              Tahun 1970-an

                                      Di tahun 1970-an, formasi sosial yang terjadi masih relatif biasa. Hal ini dapat dibuktikan dengan alat-alat tangkap yang masih sederhana. Sehingga masih lemah dalam menunjang kekuatan produksi. Sebagai contoh adalah penggunaan jaring dara yang produktif di tahun 1970-an. Di tahun 1980-an hingga tahun 1990-an jaring dara tidak lagi mampu bersaing dengan keadaan alam pesisir yang semakin lemah produktifitasnya. Untuk itu, di akhir tahun 1980-an hingga 1990-an terlihat jelas bahwa kekuatan produksi jaring dara menurun sehingga tidak lagi digunakan.
                                      Jaring dara yang digunakan sebagai penunjang kekuatan produksi di tahun 1970-an merupakan suatu alat tangkap yang lahir dari hasil adobsi berdasarkan pengamatan perkembangan tangkap di daerah lainnya.
                                      Berdasarkan sarana tangkap yang digunakan berupa perahu dan arumbae, sistem kerja dan bagi hasilnya sangat tidak nampak. Karena sebagian besar masyarakat nelayan Desa Waai memiliki sarana ini, sehingga dalam proses kerjanya bersifat pribadi dan milik sendiri.
                                      Proses bagi hasil perahu dan arumbae jelas berbeda dengan jaring dara. Di tahun 1970-an lewat jaring dara bisa dilihat proses bagi hasil yang nampak.  Tetapi juga belum bersifat struktural atau bisa dikatakan belum terstruktur secara baik. Sebagian besar pemilik dari jaring dara adalah merupakan kalangan keluarga, sehingga bagi hasil dilakukan secara merata berdasarkan jumlah kepala keluarga yang memilikinya. Bahkan jika hasilnya melimpah, ikan akan dibagi-bagikan kepada kepada para tetangga atau masyarakat sekitar sebagai bentuk wujud kekeluargaan dalam kalangan masyarakat nelayan.

              Tahun 1980-an
                                   Di tahun 1980-an ini terjadi peningkatan sarana transportasi perikanan yakni mulai digunakannya body oleh masyarakat nelayan di desa Waai. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, didapatkan informasi bahwa proses perkembangan alat transportasi ini juga tidak berjalan secepat yang dipikirkan. Awalnya, masyarakat nelayan Desa Waai mengenal body dari nelayan Suku Buton yang melakukan proses tangkap di sekitar perairan Desa Waai. Mereka bahkan pada awalnya turut bekerja pada body yang dimilki oleh nelayan Suku Buton. Dengan berjalannya waktu, proses adobsi kemudian semakin hari semakin berkembang dalam kehidupan nelayan masyarakat Desa Waai. Dengan istilah “mencuri-curi ilmu”, masyarakat nelayan Desa Waai kemudian membuat body milik mereka sendiri dan berusaha mengoperasikannya guna pengembangan proses tangkap yang menjadi sumber kehidupan ekonomi mereka. Ditunjang dengan pengalaman kerja yang telah dimiliki, tidak dapat dipungkiri bahwa formasi sosial dalam kehidupan perikanan masyarakat nelayan Desa Waai mengalami perkembangan menuju arah yang lebih baik. Hal ini bisa dilihat melalui kekuatan produksi yang semakin diperkuat dengan digunakannya body sebagai sarana penangkapan.
                                   Selain, adanya peningkatan sarana tangkap dengan hadirnya body dalam kehidupan masyarakat nelayan Desa Waai, Sero juga merupakan salah satu sarana tradisional yang terbuat dari gaba-gaba dan digunakan nuntuk menampung ikan. Alat tangkap ini walaupun tradisional, kehadirannya sangat membantu proses tangkap bagi nelayan di Desa Waai. Kehadiran Sero di Desa Waai sendiri merupakan suatu hasil adobsi. Hal ini berkembang dari berbagai  pengamatan yang dilakukan terhadap daerah-daerah tangkap lainnya yang juga sukses dengan memfungsikan sero sebagai sarana tangkap mereka. Setelah dilakukan penyesuaian, ternyata masyarakat nelayan Desa Waai merasa cocok dengan kehadiran sero sebagai salah satu sarana tangkap mereka. Dengan itu, mulailah mereka menggunakan sero terus menerus hingga saat ini.
                                   Hubungan produksi di tahun 1980-an jelas berbeda dengan tahun 1970-an dikarenakan sarana tangkap yang digunakan  juga pada dasarnya berbeda. Di tahun 1980-an, mulai dimanfaatkan body dengan jumlah pekerja yang jauh berbeda jika menggunakan perahu atau pun arumbae. Hal ini mulai mempengaruhi hubungan produksi yang ada. Masyarakat nelayan Desa Waai mulai bekerja secara berkelompok. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa sekali beroperasi dengan 1 body biasanya ABK atau mosnat yang bekerja sebanyak 25 orang. Adapun pembagian kerjanya adalah sebagai berikut :
                 - 1 orang tanase (Pengemudi body)
                 - 3 orang di sero
                 - 14 orang di body
                 - 2 orang bertugas membuang jaring timah
                 - 3 orang bertugas membuang isi jaring
                 - 2 orang bertugas membuang palompong

                 Karena terdapat pembagian kerja yang mulai terstruktur, maka terdapat pula pembagian hasilnya. Di tahun 1980-an pembagian hasil dilakukan dengan cara bagi 3 semua hasil bersih dari 1 kali proses operasi tangkap. Ada tiga item pembagian hasil antara lai :
                 1.  Body (termasuk pemilik dan biaya mesin)
                 2.  Sero (Karena biasanya body mengambil hasil pada sero yang adalah tempat penampungan ikan)
                 3.  Mosnat atau ABK
                     Pembagian hasil pada mosnat disesuaikan dengan peran setiap orang dalam menjalankan tugasnya.             



              Tahun 1990-an
                                      Perkembangan yang baik terhadap formasi sosial masyarakat pesisir Desa Waai bisa dilihat di tahun 1990-an. Dengan adanya perkembangan teknologi, masyarakat nelayan Desa Waai merasa bahwa body dengan 1 mesin tidak lagi sanggup untuk membantu mereka dalam meningkatkan kekuatan produksi. Untuk itu, berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan tangkap, mereka mulai meningkatkan kekuatan produksinya dengan menggunakan 3 mesin pada body yang dioperasikan. Bisa dikatakan, proses perkembangan ini juga merupakan proses adobsi terhadap perkembangan teknologi di kalangan masyarakat nelayan.
                                   Dengan peningkatan mesin yang digunakan, tentunya kekuatan produksi juga meningkat. Tetapi pada dasarnya, pembagian kerja dan pembagian hasil tidak berbeda jauh dari tahun ke tahun.

              Tahun 2000-an
                                   Di abad 20 ini perkembangan teknologi terus terjadi. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan formasi sosial di kalangan masyarakat nelayan Desa Waai juga meningkat. Mereka mulai ditunjang dengan sarana-sarana penangkapan yang memadai seperti penggunaan boat atau pun body dengan kapasitas besar. Mereka juga sudah mulai dilengkapi dengan pengetahuan perikanan yang mulai matang. Hal ini bisa diamati lewat kecakapan kerja yang mereka miliki. Dengan  adanya pengalaman kerja dari tahun ke tahun membuat masyarakat nelayan Desa Waai semakin berkembang dalam pola pikir. Sehingga berbagai perubahan  teknologi berusaha mereka sesuaikan dengan kebutuhan kerja mereka.
                                   Tentunya penggunaan sarana tangkap seperti body atau boat memberikan dampak bagi proses pembagian kerja dan juga proses bagi hasil di lapangan. Berbeda dengan tahun 1997-an hingga 1980-an yang  produktifitas ikannya  secara alami masih tinggi. Di tahun 2000-an produktfitas ikan di perairan Maluku diakui mulai menurun. Untuk itu di tahun 2000-an sangat dibutuhkan skill kerja yang tinggi dan terus meningkat dari nelayan.
                                      Hingga tahun 2000-an yakni sampai sekarang, pembagian hasil dan pembagian kerja memiliki sistem yang sama sejak digunakannya body atau boat. Hanya saja yang berbeda, walaupun memiliki jumlah tenaga kerja yang sama, namun dari tahun ke tahun skill kerja dari para nelayan terus ditingkatkan.
                                         













V.  KESIMPULAN
       
                                   Dari penulisan makalah yang telah dilakukaan, dapat disimpulkan bahwa dinamika perubahan teknologi perikanan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Perubahan ini mengakibatkan adanya modernisasi perikanan di Desa Waai. Di bawah ini adalah beberapa dampak modernisasi perikanan di Desa Waai antara lain sebagai berikut:
    Sejarah Alat tangkap yang digunakan sejak tahun 1970-an sampai tahun 2000-an  mengalami peningkatan yang jelas ditunjang dengan peningkatan teknologi yang terus berjalan. Peningkatan ini melalui cara adobsi berdasarkan pengamatan terhadap beberapa Desa nelayan lainnya.
    Formasi sosial masyarakat nelayan Desa Waai juga mengalami peningkatan. Hal ini dilihat pada kekuatan produksi dan hubungan produksi yang terus berkembang. Di tahun 1970-an formasi sosial masyarakat nelayan Desa Waai masih sangat sederhana dan belum terstrukur secara baik. Namun dengan berjalannya waktu hingga sekarang ini yakni tahun 2000-an, formasi sosialnya menjadi semakin terarah dan terstruktur secara baik.

DAFTAR  PUSTAKA

http://andiadriarief.blogspot.com/ (Senin, 14 Juni 2010, Pukul 20.00 WIT)
http://www.scribd.com/doc/19239234/Modernisasi-Perikanan (Senin, 14 Juni 2010, Pukul 20.00 WIT)
Wawancara langsung dengan Bapak Isaac Papilaja selaku nelayan di Waai. 

1 komentar:

  1. Titanium Watch | Tithroid Technologies, Inc.
    We're titanium ring for men excited citizen titanium watch to announce apple watch stainless steel vs titanium the latest product. ecm titanium Titanium Watch titanium bike frame is a premium stylish companion that will let you wear our original, stainless steel watches.

    BalasHapus