Jumat, 08 Juli 2011

Hubungan patron dan Klien (Sosial Budaya Masyarakat Pesisir)

SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT PESISIR
“ Sejarah DKP”
“Hubungan Patron dan Klien di Wilayah Pesisir”

Oleh:
                                               Nama     :   Cyecilia Pical
                                               NIM        :   2009-63-028
                                               Prodi      :   MSP


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2010



PERKEMBANGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN (DKP)
            Orde baru begitu memfokuskan pola pikir masyarakat Indonesia kepada pemanfaatan wilayah daratan. Namun, Sejak lahirnya era reformasi di Indonesia, maka dapat dilihat terjadi pula perubahan bertahap pola pikir bangsa Indonesia. Pola pikir masyarakat yang terfokus pada pemanfaatan wilayah daratan saja dengan berjalannya waktu semakin mengalami perubahan. Sejak dulu, Indonesia memiliki banyak sumber daya laut yang sangat bermanfaat. Baik berupa sumber daya alam. Maupun berupa pembangunan sektor kelautan yang mampu memberikan devisa besar bagi negara seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. Terlepas orde baru, bisa dilihat terjadi banyak kemajuan di sektor kelautan dan perikanan. Hal ini bisa dibuktikan lewat :
Diangkatnya Ir. Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004

            Melalui keputusan Presiden ini berlanjutlah perkembangan kemajuan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Selanjutnya pengangkatan tersebut diikuti dengan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut (DEL) beserta rincian tugas dan fungsinya melalui Keputusan Presiden Nomor 136 Tahun 1999 tanggal 10 November 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen. Ternyata penggunaan nomenklatur DEL tidak berlangsung lama karena berdasarkan usulan DPR dan berbagai pihak, telah dilakukan perubahan penyebutan dari Departmen Eksplorasi Laut menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan Presiden Nomor 147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999. Namun dengan berjalannya waktu tetap mengalami perubahan. Melalui sidang tahunan MPR, penyebutan DELP kemudian diganti menjadi DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) melalui Keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang  Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, maka Nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sedangkan struktur organisasi pada Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak mengalami perubahan.

            Pembentukan KKP pada dasarnya merupakan sebuah tantangan, sekaligus peluang bagi pengembangan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. KKP diharapkan mampu menempatkan sektor kelautan dan perikanan sebagai sektor andalan yang mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia yakni krisis ekonomi yang terus berkepanjangan di Indonesia. Terdapat pula beberapa alasan pokok yang mendasari terbentuknya KKP di Indonesia, antara lain sebabgai berikut :
1.     Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km tidak hanya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia tetapi juga menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.

2.     Selama beberapa dasawarsa, orientasi pembangunan negara ini lebih mangarah ke darat, mengakibatkan sumberdaya daratan terkuras. Oleh karena itu wajar jika sumberdaya laut dan perikanan tumbuh ke depan.

3.     Dikaitkan dengan laju pertumbuhan penduduk serta meningkatnya kesadaran manusia terhadap arti penting produk perikanan dan kelautan bagi kesehatan dan kecerdasan manusia, sangat diyakini masih dapat meningkatkan produk perikanan dan kelautan di masa datang.

4.     Keempat, kawasan pesisir dan lautan yang dinamis tidak hanya memiliki potensi sumberdaya, tetapi juga memiliki potensi bagi pengembangan berbagai aktivitas pembangunan yang bersifat ekstrasi seperti industri, pemukiman, konservasi dan lain sebagainya.



HUBUNGAN PATRON DAN KLIEN DI WILAYAH PESISIR
Selama ini, tidak adanya alternatif institusi di wilayah pesisir dalam menjamin keberlangsungan hidup masyarakat nelayan menyebabkan mereka beberapa kali harus jatuh pada pola atau institusi patron-klien yang menurut para peneliti (perspektif etic) sering bersifat asimetris. Dalam hubungan ini, klien kerap dihadapkan pada sejumlah masalah seperti pelunasan kredit yang tidak pernah berakhir yang sebenarnya inilah jebakan patron demi melanggengkan usahanya. Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal (patron).
Tujuan dasar dari hubungan patron- klien bagi klien yang sebenarnya adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan. Sebaliknya, patron juga memberikan perlindungan dengan jaminan ada kerja sama yang baik. Selain itu klien diharpkan mampu merespons perlindungan yang telah diberikan sesuai kesepakatan yang ada. Untuk menjaga agar sikap klien tetap konsisten terhadap patronnya maka patron selalu mengembangkan sistem yang sifatnya mengawasi keberadaan kliennya.
            Hubungan patron-klien adalah hubungan sosial yang muncul melalui dan di dalam interaksi-interaksi sosial yang mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dari hubungan-hubungan sosial lainnya, yaitu:
a.  Bersifat spontan dan pribadi yang penuh dengan muatan perasaan dan emosi.
b.  Adanya interaksi tatap muka di antara para pelaku yang berlangsung secara berkesinambungan.
c. Tukar menukar jasa, benda, dan uang dilakukan secara tidak seimbang antara patron dan klien, sehingga mencerminkan adanya ketergantungan klien terhadap patronnya.
Munculnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan belum ada institusi formal yang mampu berperan sebagaimana patron dalam menjamin kepentingan ekonomi mereka. Institusi-institusi bentukan yang ada selama ini belum berhasil secara efektif karena ada kesenjangan kultur institusi yang dibangun secara formal dengan kultur nelayan yang masih menekankan aspek personalitas. Tidak hanya itu, di sisi lain, nelayan sendiri belum mampu membangun institusi baru secara mandiri, khususnya kemampuan dalam mengorganisasikan diri untuk kepentingan ekonomi (koperasi) maupun profesi.



DAFTAR PUSTAKA





Tidak ada komentar:

Posting Komentar