Rabu, 24 Agustus 2011

Red Tide di Kawasan Timur Indonesia (Teluk Kao, Teluk Ambon, Teluk Piru, Sorong, Teluk Cendrawasih, Perairan Biak, Teluk Elpaputih)


TUGAS PLANKTOLOGI
(Kajian jurnal Kasus RED TIDE/blooming algae di Kawasan Timur Indonesia)

Oleh:
Cyecilia Pical
Jantho G siahaya
Greaty Ilona Hatulesila
Stefany T Salhuteru
Imelda Malik
Romla Acim

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

                        Red Tide merupakan suatu fenomena alam yang terjadi akibat pertumbuhan populasi spesies fitoplankton yang begitu cepat (bloom) melampaui pertumbuhan spesies lainnya. Blooming ini dapat mengakibatkan perubahan warna perairan menjadi merah, merah – kecoklatan, atau kehijauan (Hallegraff, 1978). Perubahan warna yang terjadi tergantung dari spesies penyebab terjadinya red tide. Fenomena ini ada yang menghasilkan racun (harmful algal bloom) dan ada yang tidak menghasilkan racun (anaxious spesies). Biasanya keracunan terjadi melalui ikan atau kerang-kerangan perantara.
                        Walaupun termasuk negara konsumer protein, di Indonesia data mengenai keracunan akibat dinoflagellta beracun masih sangat minim diakibatkan kurangnya penelitian. Di Kawasan Timur Indonesia, penelitian mengenai kasus “red tide” baru dilakukan sejak tahun 1993 hingga sekarang.
                        Permasalahan red tide di Kawasan Timur Indonesia perlu mendapatkan perhatian karena cukup potensial dan rawan akan peledakan red tide (Wiadnyana et al. 1995). Untuk itu dalam penulisan ini, dibahas mengenai beberapa kejadian blooming fitoplankton beracun disertai penyebaran spesies baracun di sejumlah titik penelitian yang berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

B.   Tujuan
                       
                        Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas sejumlah spesies beracun yang mengakibatkan red tide di Kawasan Timur Indonesia serta dampak yang telah ditimbulkan.

C.    Metode

                  Penelitian ini dilakukan pada beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) antara lain Perairan Teluk Kao, Teluk Amnbon, Perairan Seram Bara (Teluk Piru dan Teluk Elpaputih), Perairan Sorong, Teluk Cendrawasih, dan Perairan Biak. Penelitian dilakukan dengan metode koleksi sample menggunakan jaring plankton (planktonet) secara vertikal dari kedalaman 100 m ke permukaan dengan ukuran mata jaring (mesh size) 64 μm dan juga dengan menggunakan botol Van Dorn untuk sample dari kedalaman 5 meter. Khusus di perairan Teluk Kao dan Teluk Ambon sampel yang dikoleksi dari permukaan secara horisontal dengan jaring plankton yang sejenis. Beberapa parameter oseanografi dan kimia perairan juga diamati pada saat yang bersamaan di setiap lokasi.    
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Fenomena Red Tide Di Kawasan Timur Indonesia
Peta Lokasi Blooming alga di Kawasan Timur Indonesia

Peta Tiap Lokasi pengambilan sample

1.     Blooming Fitoplankton di Teluk Kao
Fenomena red tide di perairan Teluk Kao terjadi pada bulan Maret 1994. Fenomena ini mengakibatkan warna air berubah menjadi merah  - kecoklatan yang disebabkan oleh spesies Pyrodinium bahamense var. compressum. Munculnya spesies ini diawalidengan adanya upwelling sehingga masa air pada perairan dalam terangkat ke permukaan bersamaan dengan  kista P. bahamense var compressum  yang kemudian mengalami perubahan fase vegetatif dengan cepat sehingga menimbulkan peledakan populasi (blooming) di perairan tersebut.

                        Parameter lingkungan Teluk Kao saat terjadinya blooming yakni memiliki temperature permukaan air laut yang cukup tinggi yaitu berada pada kisaran antara 30,9 – 31,5 0C. Selain itu, Salinitas perairan relative rendah, berkisar antara 29,2 – 30,1 ppm. Memiliki kandungan fosfat yang berkisar antara 0,32 – 0,35 ug-at-P per liter dan Kandungan Nitrat berada pada kisaran 0,91 – 1,18 ug-at-N per liter.

                        P. bahamense var compressum  tergolong dalam spesies yang mampu menghasilkan toxin. P. bahamense var compressum  yang mengandung racun apabila dikonsumsi oleh kerang-kerangan belum menimbulkan dampak atau efek yang nyata. Namun jika kemudian kerang-kerangan ini dikonsumsi oleh manusia maka dampak adanya spesies yang mengandung toxin di perairan dapat dirasakan melalui beberapa gejala seperti badan terasa gatal, bibir terasa tebal, badan terasa keram, mual-mual, pusing, dll. Toxin yang dihasilkan di perairan Teluk Kao merupakan  racun PSP ( Paralytic Shellfish Poison)

                        Fenomena blooming P. bahamense var compressum tahun 1994 di  Teluk Kao ini bukan merupakan kejadian yang pertama kali. Sehingga masyarakat setempat telah mengenal  gejala-gejala dan dampak dari fenomena ini.  Hal ini mengakibatkan mereka dapat mengantisipasi adanya korban dari gejala ini dengan tidak mengkonsumsi kerang-kerangan ataupun ikan pada lokasi tersebut. Tercatat bahwa blooming P. bahamense var compressum pada tahun 1994 di Teluk Kao, tidak menimbulkan adanya korban jiwa.

2.   Fenomena Blooming di Teluk Ambon

                        Kejadian blooming yang terjadi di Teluk Ambon pada bulan Juli 1994 disebabkan oleh spesies Pyrodinium bahamense var. compressum.  Fenomena ini terjadi setelah musim hujan dengan tingkat curah hujan yang cukup tinggi pada bulan sebelumnya. Temperatur permukaan laut cukup rendah dari musim kering yaitu berkisar antara 24,8-26,5 0C. Selain itu perairan ini memiliki salinitas yang dengan kisaran antara 30,5 – 32,0 ppm. Kadar fosfat di perairan cukup tinggi dengan nilai rata-rata 0,64 mg/l. sedangkan kadar nitrat dalam perairan sebesar 1,30 mg/l.
                        Berbeda dengan kejadian blooming di Teluk Kao, Fenomena blooming di Teluk Ambon cukup fatal karena adanya korban kematian 3 orang anak kecil dan 33 orang lainnya dirawat di rumah sakit akibat keracunan. Keracunan diakibatkan setelah masyarakat sekitar mengkonsumsi kerang-kerangan yang telah terkontaminasi dengan racun atau toxin yang dihasilkan oleh P. bahamense var. compressum. Kerang-kerangan yang dikonsumsi ini dikenal dengan nama ”Bia Manis” (Hiatula chinensis) sebagai nama lokalnya. Toxin yang dihasilkan tergolong dalam jenis toxin PSP.

2.     Penemuan Potensi Blooming di Perairan Seram dan Perairan Papua
                                    Di daerah perairan Seram dilakukan penelitian di Teluk Piru dan Elpaputi pada bulan Juli dan Agustus tahun 1994. dari hasil penelitian tersebut diketahui kepadatan P. bahamense var. compressum cukup rendah yaitu sekitar 17 sel per liter di Teluk Piru dan 1 sel per liter di Elpaputi. Kondisi temperature air laut dalam kedua perairan tersebut relative sama yaitu dengan nilai kisaran antara 21,4 – 25,8 0C dan salinitas berada di antara kisaran 34,21 – 34,28 ppm. Apabila terjadi upwelling dikhawatirkan kista yang mengendap di dasar perairan akan naik ke permukaan dan dapat mengakibatkan terjadinya blooming.

                                                Di daerah penelitian lain pada kawasan Papua yakni  Sorong, Biak, dan Teluk Cendrawasih ditemukan spesies Pyrodinium dengan konsentrasi yang sangat rendah. Perairan Sorong memiliki kepadatan 14 sel per liter, Perairan Biak dengan kepadatan sel 42 sel per liter, serta Teluk  Cendrawasih dengan kepadatan 1 sel per liter. Kondisi hidrometerologi pada perairan Sorong dapat dilihat pada kondisi temperatur yang berkisar antara 20,0 – 28,5 0C. Sedangkan pada perairan Biak dan Teluk Cendrawasih memiliki kondisi temperatur yang homogen dengan kisaran antara 20,7 – 30,0 0C. Di lokasi ini pernah ditemukan Pyrodinium bahamense var. compressum.

B.   Spesies Penyebab Blooming
                        Pada beberapa daerah di KTI yang menjadi titik penelitian, hanya didapati bahwa blooming yang sebagian besar terjadi di KTI disebabkan oleh satu spesies dinoflagellata yakni Pyrodinium bahamense var. compressum.

      Pyrodinium bahamense var. compressum
          Klasifikasi Ilmiah P. bahamense var. compressum
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom      :
Protista
Divisi           :  
Phyrophyta
Kelas           :
Dinophyceae
Ordo            :
Gonyaulacales
Famili          :
Goniodomaceae
Genus          :        
Pyrodinium
Spesies       :
P. bahamense var compressum

           Ciri-Ciri  P. bahamense var. compressum

P. bahamense var. compressum

P. bahamense var. compressum


                                 Pyrodinium bahamense dapat ditemukan di sepanjang daerah  laut dekat pantai dan penyebarannya hampir di seluruh negara, meskipun mereka lebih sering hadir dalam kondisi melimpah di belahan bumi utara.
                                 sel P. bahamense var compressum sangat khas. Karena biasanya ditemukan dalam bentuk  rantai panjang yang terdiri hingga 32 sel. Namun ada juga sel yang muncul secara tunggal.  sel tunggal berbentuk bulat membentuk anterior dan posterior.
                                                                                                           
                                            P. bahamense var compresum  Memiliki panjang sel yang berukuran dari 33-47 µm, sedangkan diameter dari dorsal menuju ventral berkisar antara 37-47 µm. Pyrodinium bahamense berbentuk bulat dengan kerangka plat selluosik di sekitarnya dikenal sebagai thecal. thecal ditutupi dengan defensif pori-pori yang dikenal sebagai trichocysts.           
                                    Seperti dinoglagellata lainnya P. bahamense var compresum memiliki flagella horizontal  dan flagella longitudinal yang dimanfaatkan sebagai alat gerak.

                                    Pigmen fotosintesis yang dimiliki  antara lain klorofil a, c, β – karoten, Fucoxanthin, Dinoxanthin, Peridinin, Neoperidinin. Sehingga tampak berwarna hijau – kekuningan atau kuning kecokelatan, bahkan ada juga yang merah kecokelatan saat terjadinya blooming di suatu perairan.
                                    Organisme ini termasuk dalam organisme autotrof yang mampu menghasilkan zat organic lewat proses fotosintesis dibantu oleh sejumlah pigmen yang dikandung.
                                    Reproduksinya melalui fase aseksual, seksual, dan juga spora istirahat. Yang juga istimewa dari spesies ini adalah dalam siklus hidupnya P. bahamense var compressum dapat membentuk kista (cyst) yang merupakan fase istirahat dan dapat bertahan cukup lama di dasar perairan saat kondisi perairan memburuk. Kista ini kemudian akan berubah fase bila kondisi perairan membaik dan ditunjang oleh faktor temperature, salinitas, intensitas cahaya dan ketersediaan nutrient. Kondisi seperti ini sangat menunjang terjadinya upwelling yang mampu mengangkat sejumlah massa air dari dasar sehingga kista akan naik ke permukaan dan berubah fase vegetatif dengan cepat. Hal ini mengakibatkan jumlah dinoflagellata ini melimpah dapat mengakibatkan terjadinya blooming.

          Akibat adanya Pyrodinium bahamense var compressum bagi Perairan

                                    Tercatat ada beberapa kasus keracunan pada manusia yang disebabkan oleh spesies P. bahamense var compressum  melalui perantara terlebih dahulu yang lebih dikenal dengan istilah Paralytic shellfish poisoning (PSP).
                     PSP dapat menimbulkan kejang-kejang sampai pada kelumpuhan. Hal ini dapat dilihat seperti yang pernah di alami saat kasus blooming di Teluk Ambon,  diakibatkan mengkonsumsi kerang hidup yang telah terkontaminasi (3 orang anak meninggal dan 33 orang lainnya dirawat di rumah sakit). Selain itu yang terjadi di Guatemala mengakibatkan 26 orang meninggal dan sekitar 185 orang di rawat di rumah sakit. Sebelum itu kasus besar lain teIah terjadi di Filipina, dimana 21 orang meninggal dan sekitar 278 orang di rawat di rumah sakit.
                     Pyrodinium bahamense dikenal sebagai organisme yang mampu mengeluarkan racun sehingga dapat menyebabkan keracunan tipe  PSP.  Kelompok racun yang dirilis oleh bahamense Pyrodinium dikenal sebagai saxitoxins. Meskipun tidak keluar sangat berbahaya di laut terbuka, toksin itu diasingkan dalam kerang (moluska) dan berbahaya bagi orang yang mengkonsumsi moluska. . korban keracunan PSP memiliki kemungkinan hingga mengalami kematian sebesar 15% . Gejala akan dengan  cepat muncul dalam waktu satu jam setelah mengkonsumsi kerang yang terkontaminasi yakni  mati rasa atau keram, hilangnya fungsi motorik, pusing, mengantuk dan dalam kasus-kasus terburuk, kelumpuhan pernafasan sampai kepada kematian.
                     Studi terbaru mengenai PSP dan bahamense Pyrodinium menunjukkan bahwa berbagai bakteri endosymbiotic  yang memproduksi saxitoxins. Di Florida ditemukan P. bahamense var compressum  yang dikandung oleh ikan puffer yang mampu menghasilkan saxitoxin. Sedangkan di perairan Atlantik ditemukan dari sekian jumlah sel P. bahamense var compressum, tidak satu pun sel yang mengandung racun. Temuan ini diperoleh pada tahun 2002.

          Penyebaran P. bahamense var compressum di Indonesia
                        Di perairan Indonesia, spesies ini dijumpai di beberapa tempat seperti Teluk Kao, Teluk Ambon, Teluk Piru, Teluk Elpaputih, perairan Saparua, perairan Sorong, sekitar Biak dan Teluk Cenderawasih, selain itu di Teluk Jakarta dan perairan Bangka. Saat kemunculannya di Teluk Kao pada Maret 1994 menyebabkan perubahan warna perairan menjadi merah kecoklatan. Di perairan Seram dan Irian Jaya, kepadatan Pyrodinium elative rendah dan belum ada laporan tentang kasus-kasus keracunan. Sementara di Saparua, Pyrodinium ditemukan pada periode Juni – Juli 1994 di perairan sekitar Teluk Tuhaha, Desa Noloth, Desa Pia dan Desa lhamahu dengan kepadatan berkisar antara 6 – 95 sel/liter.

BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
                        Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa Kawasan Perairan Indonesia Timur dapat disimpulkan sebagai berikut :

          Pada daerah Teluk Kao pernah mengalami fenomena red tide yang terjadi pada bulan Maret 1994 yang mengakibatkan warna air berubah menjadi merah kecokelatan dan disebabkan oleh spesies Pyrodinium bahamense var. compressun. Fenomena ini tidak menjatuhkan adanya korban jiwa.
    Fenomena red tide di Teluk Ambon terjadi pada bulan Juli 1994 yang disebabkan oleh spesies P. bahamense var compressum sehingga menimbulkan keracunan PSP yang berdampak pada meninggalnya 3 orang anak dan 33 orang lainnya di rawat di rumah sakit.
    Pada beberapa titik penelitian lainnya seperti di Perairan Seram Barat, Perairan Sorong, Teluk Cendrawasih, dan Biak ditemukan adanya spesies  P. bahamense var compressum  dalam konsentrasi yang rendah namun berpotensi menimbulkan terjadinya fenomena red tide.
    Sebagian besar fenomena red tide yang terjadi di KTI disebabkan oleh spesies Pyrodinium bahamense var compressum. Hal ini dikarenakan penyebarannya yang tinggi di daerah tropis.

B.   Saran
                                    Secara pasti, setiap fenomena red tide yang terjadi belum dapat diramalkan baik waktu, tempat, maupun lamanya kejadian. Selain itu, penyebaran sejumlah spesies-spesies penyebab red tide juga belum banyak diketahui. Sehingga disarankan agar penelitian dan pemantauan mengenai setiap fenomena red tide harus dilakukan secara berkesinambungan oleh instansi-instansi terkait.


DAFTAR PUSTAKA
Sibadutar .T, N.N. Wiadnyana, dkk.1996.Kasus “RED TIDE” di Perairan Indonesia Bagian Timur. Poka : Puslitbang Oseanologi-LIPI.


                                 

FITOPLANKTON DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM


FITOPLANKTON DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM, MALUKU
(Dari hasil kajian penelitian)

Oleh : CYECILIA PICAL

KATA  PENGANTAR

                        Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat dan tuntunan-Nya hingga penulis mampu menyelesaikan makalah dengan judul “Penyebaran Fitoplankton di Teluk Ambon Bagian Dalam”. Makalah ini merupakan hasil kajian terhadap penelitian akhir dari saudari Mauren Sahuleka yang merupakan mahasiswa  Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura pada bulan Juli dan Agustus 2009.
                        Penulisan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik karena adanya bimbingan dari Ir. S. Haumahu, M.Si sebagai Dosen Mata Kuliah Planktonologi serta bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih, semoga Tuhan memberkati.
                        Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar dapat melengkapi makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini berguna bagi kita semua.


                                                                                                Ambon, Oktober 2010


                                                                                                            Penulis








BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang

                                    Maluku merupakan daerah seribu pulau dengan laut yang luas sebagai penyatunya. Setiap kolom di dalam ruang laut memiliki kehidupan yang sangat penting adanya. Salah satu bagian dari sejumlah besar perairan di Maluku adalah perairan Teluk Ambon. Teluk Ambon sering dipandang merupakan suatu kesatuan perairan. Namun, Wenno (1983) mengungkapkan bahwa berdasarkan pandangan oseanografi, Teluk Ambon merupakan dua bagian terpisah yakni Teluk Ambon Dalam (TAD) dan Teluk Ambon Luar (TAL). Huliselan (1991) kemudian menegaskan lewat pembagian wilayah Perairan Teluk Ambon secara ekologis yang terdiri atas 3 bagian yakni Teluk Ambon Dalam (TAD), Teluk Ambon Luar (TAL), dan daerah transisi.
                                    TAD merupakan perairan yang bersifat neritik, memiliki bentuk pantai yang bulat dan landai. Sejumlah sungai di sekitarnya mengalir dan bermuara di perairan TAD sehingga terdapat banyak material aliran sungai yang masuk ke laut.
                                    Secara keseluruhan perairan Teluk Ambon sangat memiliki nilai guna yang tinggi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Perairan ini sering digunakan sebagai daerah tangkapan ikan yang merupakan perairan penghasil ikan-ikan umpan, dapat digunakan sebagai median penelitian demi meningkatkan IPTEK, sebagai jalur lalu lintas bagi masyarakat, dan juga sebagai media mata pencaharian masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
                                    Karena begitu banyaknya aktivitas di sepanjang perairan Teluk Ambon, maka terdapat pula berbagai dampak terhadap produktifitas primer yang ada di dalamnya. Masyarakat terkadang memiliki pemikiran yang sempit sehingga mengesampingkan sejumlah besar dampak yang akan berpengaruh terhadap kesuburan perairan Teluk Ambon.
                                    Pada makalah ini terdapat hasil penelitian mengenai kelimpahan fitoplankton yang secara langsung dapat memberikan informasi kepada kita mengenai produktifitas perairan Teluk Ambon khususnya TAD.



1.2      Tujuan

                                    Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.    Untuk mengetahui pola penyebaran fitoplankton secara horizontal di perairan  Teluk Ambon bagian Dalam (TAD).
2.    Unuk memenuhi nilai tugas kelompok Mata Kuliah Planktonologi.


1.3.    Tinjauan Pustaka

Defenisi Plankton

                           Istilah plankton pertama kali diperkenalkan oleh Victor Hensen pada tahun 1887, yang berarti pengembara. Plankton merupakan sekelompok biota di dalam ekosistem akuatik (baik tumbuhan maupun hewan) yang hidup mengapung secara pasif, sehingga sangat dipengaruhi oleh arus yang lemah sekalipun (Arinardi, 1997).

                                    Menurut Hutabarat dan Evans (1985), plankton adalah suatu organisme yang terpenting dalam ekologi laut. Kemudian dikatakan bahwa bahwa plankton merupakan salah satu organisme yang berukuran kecil dimana hidupnya terombang-ambing oleh arus perairan laut.

                                    Menurut Nontji (2005), plankton adalah organisme yang hidupnya melayang atau mengambang di dalam air. Kemampuan geraknya, kalaupun ada, sangat terbatas hingga organisme tersebut terbawa oleh arus namun, mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut, karena plankton menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut lainnya. Selain itu hampir semua hewan laut memulai kehidupannya sebagai plankton terutama pada tahap masih berupa telur dan larva.

         Jenis-Jenis Plankton

                                    Klasifikasi dalam biologi membedakan plankton dalam dua kategori utama yaitu fitoplankton yang meliputi semua hubungan renik dan zooplankton yang meliputi hewan yang umumnya renik (Rutter, 1973 dalam Sahrainy, 2001).
                                    Fitoplankton ada yang berukuran besar dan kecil dan biasanya yang besar tertangkap oleh jaringan plankton yang terdiri dari dua kelompok besar, yaitu diatom dan dinoflagellata. Diatom mudah dibedakan dari dinoflagellata karena bentuknya seperti kotak gelas yang unik dan tidak memiliki alat gerak. Pada proses reproduksi tiap diatom akanmembela dirinya menjadi dua. Satu belahan dari bagian hidup diatom akan menempati katup atas (epiteka) dan belahan yang kedua akan menempati katup bawah (hipoteka). Sedangkan kelompok utama kedua yaitu dinoflagellata yang dicirikan dengan sepasang flagella yang digunakan untuk bergerak dalam air. Beberapa dinoflagellata seperti Nocticula yang mampu menghasilkan cahaya melalui proses bioluminesens (Nybakken, 1992).





Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Fitoplankton

1.    Suhu

                                    Suhu di lautan adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangan dari organisme. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis hewan yang terdapat di berbagai tempat di dunia (Hutabarat dan Evans, 1985).

                                    Plankton dari jenis fitoplankton hanya dapat hidup dengan baik di tempat-tempat yang mempunyai sinar matahari yang cukup. Akibatnya penyebaran fitoplankton besar pada lapisan permukaan laut saja. Keadaan yang demikian memungkinkan untuk terjadinya proses fotosintesis. Sejak sinar matahari yang diserap oleh lapisan permukaan laut, maka lapisan ini relatif panas sampai ke kedalaman 200 m (Hutabarat dan Evans, 1985).

                                    Walaupun Plankton potensial berbahaya menyebar luas secara geografis dan hal ini mengidentifikasikan adanya kisaran yang luas terhadap toleransi suhu, tetapi spesies alga potensial berbahaya daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan suhu. Kisaran suhu optimal bagi spesies alga potensial berbahaya adalah 250–300 C dan kemampuan proses fotosintesis akan menurun tajam apabila suhu perairan berada di luar kisaran optimal tersebut (Gross dan Enevoldsen, 1998 dalam Gosari, 2002).




2.    Salinitas

                                    Salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat di dalam air laut. Konsentrasi ini biasanya sebesar 3% dari berat seluruhnya atau sering juga disebut bagian perseribu (permil) dan biasa ditulis dengan 35‰. Konsentrasi garam-garam ini jumlahnya relative sama dalam setiap contoh-contoh air laut, sekalipun mereka diambil dari tempat yang berbeda di seluruh dunia (Hutabarat dan Evans,1985)
.
                                    Hampir semua organisme laut dapat hidup pada daerah yang mempunyai perubahan salinitas yang sangat kecil, misalnya daerah estuaria adalah daerah yang mempunyai salinitas rendah karena adanya sejumlah air tawar yang masuk yang berasal dari daratan dan juga disebabkan karena adanya pasang surut di daerah ini kisaran salinitas yang normal untuk kehidupan organisme di laut adalah berkisar antara 30-35 ppm (Gosari, 2002).

                                    Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona intertidal melalui dua cara. Yang pertama karena zona intertidal terbuka pada saat pasang surut dan kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat, akibatnya salinitas akan turun secara drastis (Nybakken, 1992).

         3.   Potensial Hidrogen (pH)

                                    pH merupakan pengukuran asam atau basa suatu larutan. Keasaman terjadi karena berlebihnya ion H+ pada suatu larutan, sedangkan alkalinitas terjadi karena berlebihnya ion OH- pada suatu larutan. Potensial hidrogen atau sifat keasaman atau basa (alkalinitas) suatu larutan sangatlah penting dalam faktor kelarutan dalam air laut terutama terhadap pengendapan mineral atau unsur-unsur dan kehidupan organisme pada suatu kondisi tertentu (Hutabarat dan Evans, 1985).

                                    Derajat keasaman (pH) adalah nilai logaritma tentang besarnya konsentrasi ion hidrogen sehingga menunjukkan kondisi air atau tanah tersebut basa atau asam. Pada umumnya kedalaman dasar juga mencirikan nilai pH dari air laut dan substrat dasarnya sehingga dapat diketahui bahwa tingkat keasaman pada daerah yang lebih dalam akan lebih rendah dibandingkan pada daerah yang lebih dangkal (Usman, 2006).

         4.   Arus
                    
                                    Menurut Hutabarat dan Evans (1985), arus merupakan pergerakan massa air yang disebabkan oleh adanya perbedaaan densitas atau angin. Arus dapat dibagai menjadi arus permukaan dan arus upwelling. Arus dapat disebabkan oleh angin, juga dipengaruhi oleh faktor topografi dasar laut, pulau-pulau yang ada disekitarnya, gaya coriolis dan perbedaan densitas air laut.Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan gelombang panjang termasuk pasang surut (Nontji, 2005).

         5.   Kekeruhan

                                    Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan bahan-bahan yang terdapat dalam perairan. Kekeruhan air dapat disebabkan oleh lumpur, partikel tanah, serpihan tanaman, dan fitoplankton. Kekeruhan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan organisme yang menyesuaikan diri pada air yang jernih menjadi terhambat dan dapat pula menyebabkan kematian karena mengganggu proses respirasi (Hutagalung et al., 1997)

6.    DO

                     Oksigen yang terdapat dalam air laut terdiri dari dua bentuk senyawa, yaitu terikat dengan unsur lain dan sebagai molekul bebas. Kelarutan molekul oksigen yang terdapat dalam air laut dipengaruhi secara fisika, sebagai contoh kelarutannya sangat dipengaruhi oleh suhu air. Sumber utama oksigen dalam air laut berasal dari udara melalui proses difusi dan dari hasil fotosintesis fitoflankton pada siang hari faktor-faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi (khususnya malam hari), adanya lapisan minyak di atas permukaan air laut dan masuknya limbah organik yang mudah terurai (Hutagalung et al., 1997).


                     Faktor lain yang mempengaruhi penyebaran plankton adalah faktor kimiawi. Menurut Sachlan (1972), penyebaran plankton dalam perairan dipengaruhi oleh sifat fototaksis. Fitoplankton bersifat fototaksis positif, dan zooplankton bersifat fototaksis negative.

                     Hingga sekarang ini, banyak penelitian yang telah dilakukan untuk menjawab pola  penyebaran fitoplankton di sekitar perairan Teluk Ambon bagian Dalam (TAD). Beberapa diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut.
1.    Setiadi (1987) menemukan 27 genera fitoplankton pada bulan April 1985 dan 23 genera fitoplankton pada bulan Juli 1985 di TAD. DImana genera Pelagothrix, Chaetoceros, dan Dinophysis ditemukan dominan pada bulan April 1985, sedangkan genera Pelagothrix, Ceratium, Dinophysis dominant pada bulan Juli 1985.
2.   Haumahu (2004) menemukan 33 genera fitoplankton di TAD pada bulan Mei sampai Juli 1994. 23 genera yang ditemukan adalah dari kelas diatom (Baccilariophyceae), 7 genera dinoflagellata (Dinophyceae), dan 3 genera lainnya masing-masing dari kelas Cyanophyceae, Haptophyceae, dan Sarcodina. Fitoplankton yang dominant di TAD pada Mei sampai Juli 1994 adalah Chaetoceros, Melosira, Planktonniella, Skeletonema, Rhizosolenia, Thalassionema, Pyrodinium, Ceratium, dan Dynophysis. Pada perairan TAD pada bulan Mei-Juli 1994, kelimpahan fitoplankton berkisar antara 2,01x104 sel/liter air – 9.6x105 sel/liter. Genera fitoplankton yang memiliki kelimpahan tertinggi di TAD pada Mei-Juli 1994 adalah Thalassionema, sedangkan yang memiliki kelimpahan tertinggi apada bulan Juni dan Juli 1994 adalah Chaetoceros, Pyrodinium, Skeletonema, Melosira, Ceratium, dan Rhizosolenia (Haumahu,1995 dan 2004)

3.   Kaitjili (2002) menemukan 64 genera fitoplankton di TAD pada bulan Maret sampa Mei 2000. 50 genera berasal dari kelas diatom dan 14 genera dari dinoflagellata. Diatom yang ditemukan dominant di TAD pada bulan Maret-Mei 2000 adalah Coscinodiscus, Chaetoceros, Thalassionema, Nitzschia, Melosira, Rhizosolenia, Bacteriastrum, Leptocylindrus, Bidulphia, dan Pleurosigma. Kelimpahannya berkisar antara 3,7x106 sel/m3 – 2,4x107 sel/m3. Genera fitoplankton yang memiliki kelimpahan tertinggi di dominasi oleh Chaetoceros, diikuti oleh Coscinodiscus, dan Thalassionema. Sebaliknya dinoflagelata yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah Peridinium dan Ceratium.
        
         4.   Erubun (2003) menemukan 33 genera fitoplankton di Teluk Ambon pada Desember 2002. 19 genera berasal dari kelas diatom, 10 genera dari kelas  dinoflagellata, 2 genera berasal dari kelas Cyanophyceae dan 2 genera dari kelas Chlorophyceae. Genera fitoplankton yang dominant ditemukan pada saat ini di perairan Teluk Ambon adalah Coscinodiscus, Bacillaria, Ceratium, Rhizosolenia, dan Nitzschia. Kelimpahan fitoplankton di Teluk Ambon pada Desember 2002 berkisar antara 4,93x102 sel/m3 sampai 8, 124x103 sel/m3. genera fitoplankton yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah Chaetoceros, Coscinodiscus, Thalassionema, Bacillaria, Nitzschia dan Ceratium.


                           Berdasarkan hasil-hasil penelitian fitoplankton yang telah dilakukan, ditemukan bahwa pada daerah dekat pantai, kelimpahan fitoplankton lebih tinggi dibanding dengan daerah oseanik dimana jumlah spesiesnya rendah. Sedangkan pada perairan permukaan, jumlah spesies rendah dan kelimpahan total tinggi, tetapi pada lapisan dalam jumlah spesies tinggi, kelimpahannya rendah.











BAB II
PEMBAHASAN

        Deskripsi Lokasi Penelitian

                                    Perairan Teluk Ambon bagian Dalam (TAD) merupakan bagian dari Teluk Ambon. TAD memiliki bentuk perairan yang bulat, bersifat neritik serta memiliki ciri pantai yang landai. Perairan TAD banyak mendapatkan pasokan muatan dari darat karena merupakan muara dari aliran sungai. Selain itu TAD merupakan basin yang dangkal dengan kedalaman maksimumnya 30 - 40 meter.
                                    Mauren Sahuleka (2009) lewat penelitiannya di TAD menggunakan 5 (lima) stasiun pengamatan yakni perairan Poka, Waiheru, Passo, Lateri, dan Galala. Secara kasat mata jika diperhatikan, perairan TAD tampak keruh jika dibandingkan dengan perairan sekitarnya yakni peraian Teluk Ambon bagian Luar (TAL) dan daerah ambang. Realitas ini diakibatkan oleh kondisi perairan TAD yang semi tertutup  dan banyak mendapat masukan dari daratan yang berada di sekitarnya. Serta terdapat pula komunitas mangrove yang tidak dapat dilepaspisahkan kehidupan ekologisnya dengan perairan TAD. Aktivitas masyarakat sekitar juga mampu memberi dampak langsung terhadap kondisi perairan TAD karena bentuknya yang semi tertutup.

        Parameter Hidrologi di Perairan Teluk Ambon

A.   Suhu, Salinitas, dan pH

                           Beberapa parameter hidrologi yang merupakan penunjang pertumbuhan dari fitolankton adalah suhu, salinitas, dan pH. Tabel 1 akan memberikan informasi hasil pengukuran suhu, salinitas, dan pH pada 5 stasiun pengamatan pada bulan Juli dan Agustus 2009

      Tabel 1. Nilai Suhu, Salinitas, dan pH pada 5 Stasiun Pengamatan

Stasiun
Suhu Air Laut (oC)
Salinitas (psu)
pH
Juli
Agustus
Juli
Agustus
Juli
Agustus
(1)   Poka
28
29
30
30
7,6
7
(2)   Waiheru
28
28
30
28
7,2
7,2
(3)   Passo
28
28
31
30
7
7
(4)   Lateri
28
28
30
31
7,4
7,4
(5)   Galala
29
29
30
30
8,7
8,1

                           Hasil penelitian pada tabel 1 memperlihatkan bahwa pada bulan Juli dan Agustus 2009 suhu di perairan TAD berkisar antara 28-29 0C. Effendi (2003) menjelaskan bahwa secara umum suhu optimal bagi perkembangan fitoplankton berkisar dari 20 0C hingga 30 0C, namum suhu dimana jenis fitoplankton dapat berkembang secara baik adalah pada suhu 25 0C. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa suhu lokasi penelitian saat bulan Juli dan Agustus 2009 berada pada kisaran normal pertumbuhan fitoplankton.
                           Nilai salinitas perairan TAD pada bulan Juli dan Agustus 2009 sebesar 28 - 31 psu. Nilai salinitas terendah yaitu pada perairan Waiheru di bulan Agustus. Sedangkan nilai salinitas tertinggi terdapat pada perairan Passo di bulan Agustus. Rendahnya salinitas di sekitar perairan Waiheru disebabkan adanya pengaruh dari aliran sungai terhadap tempat pengambilan sampel. Dahuro (2003) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang baik untuk pertumbuhan fitoplankton adalah antara 32 - 34 psu. Kisaran ini tentunya menunjukkan bahwa nilai salinitas disekitar perairan  TAD kurang optimal. Adapun salah satu faktor alam yang sangat mempengaruhi nilai salinitas perairan yakni presipitasi atau curah hujan. Mauren Sahuleka (2009) menjelaskan bahwa kisaran nilai salinitas yang rendah di sekitar perairan TAD pada penelitian bulan Juli dan Agustus 2009 disebabkan oleh waktu pengambilan sampel yang berada pada musim hujan.
                           Nilai pH dari setiap stasiun di perairan TAD berkisar antara 7 – 8,7. Kisaran ini masih dapat dikategorikan sebagai kisaran optimal pH terhadap tingkat pertumbuhan fitoplankton di perairan. Omori dan Ikeda (1984) mengemukakan bahwa pH optimum untuk pertumbuhan plakton adalah pada pH 7,0 – 8,5.

B.    Nutrien

                           Nitrat dan Fosfat merupakan bahan organik yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam proses pertumbuhan dan perkembangbiakkannya.  Kedua bahan organik ini digunakan sebagai unsur hara dalam proses fotosintesis dengan tujuan agar dapat menjadi katalisator dalam proses pertumbuhannya. Hal inilah yang membuat kedua unsur ini menjadi penting untuk diketahui seberapa besar kandungannya dalam perairan. Tabel 2 akan menampilkan hasil pengukuran kadar fosfat dan nitrat di lima stasiun penelitian pada bulan Juli dan Agustus 2009.










      Tabel 2. Nilai Fosfat (µg PO4/l) dan Nitrat ((µg NO3-N/l) pada 5 stasiun pengamatan.

Stasiun
Fosfat
(µg PO4/l)
Nitrat
(µg NO3-N/l)
Juli
Agustus
Juli
Agustus
(1)   Poka
0,009
0,009
0,003
0,004
(2)   Waiheru
0,008
0,007
0,006
0,006
(3)   Passo
0,008
0,007
0,004
0,006
(4)   Lateri
0,008
0,008
0,003
0,003
(4)   Galala
0,009
0,0081
0,005
0,006

                           Melalui tabel 2 di atas kita dapat mengetahui bahwa kadar fosfat yang diperoleh pada lima stasiun pada bulan Juli dan Agustus 2009 berkisar antara 0,007 – 0,009 µg PO4/l. Berdasarkan Sutamihardja (1978), kadar normal kandungan fosfat di daerah permukaan suatu perairan laut memiliki kisaran antara 0,001 – 1,68 µg PO4/l. Hal ini membuktikan bahwa nilai kandungan fosfat pada bulan Juli dan Agustus 2009 di Perairan TAD masih berada pada kisaran yang normal.
                           Berdasarkan data penelitian, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya, kadar fosfat yang terkandung pada bulan Juli dan Agustus 2009 bukan merupakan kadar optimal untuk pertumbuhan fitoplankton. Karena kadar fosfat yang optimal bagi pertumbuhan organisme fitoplankton berkisar anatara 0,003 – 0,005 µg PO4/l (Mackentum, 1969).
                           Berdasarkan table 2 di atas, dapat dilihat bahwa kandungan nitrat pada bulan Juli dan Agustus 2009 berkisar anatara 0,003 – 0,006 µg NO3-N/l. Brotowidjoyo dkk (1995) menjelaskan bahwa kadar nitrat di perairan permukaan akan berada pada keadaan normal jika berkisar antara 0,01 – 0,50 µg NO3-N/l. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan TAD pada bulan Juli dan Agustus 2009 berada pada kondisi yang kurang subur. Hal ini dapat dilihat melalui keadaan kadar nitrat yang berada di bawah nilai rata-rata kondisi normalnya.
                           Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya di Teluk Ambon, kita dapat melihat bahwa kadar fosfat dan nitrat pada penelitian ini tergolong sangat rendah. Buktinya, menurut Edward dan Manik (1987), kandungan fosfatnya berkisar antara 0.61 – 1.27 µg PO4/l dan menurut data yang diperoleh Haumahu (2004), kandungannya berkisar antara 0.23 – 1.22 µg PO4/l pada musim yang sama. Sebaliknya, rata-rata kadar nitrat yang diperoleh Tarigan (1987) yaitu 3.71 µg NO3/l. Sedangkan Haumahu (2004) menemukan kisaran kadar nitrat di TAD antara 0.092 – 0.55 µg NO3/l.
                           Jadi, berdasarkan penelitian Mauren Sahuleka (2009) ditegaskan bahwa kandungan nutrien pada bulan Juli dan Agustus di TAD cenderung menurun bila dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Hal ini berdampak pada jumlah genus fitoplankton yang di peroleh juga lebih rendah.

        Komposisi dan kelimpahan  Genera Fitoplankton di Perairan Teluk Ambon
A.    Komposis Genera Fitoplankton
               Hasil pengamatan yang diperoleh pada ke-5 stasiun, penelitian menunjukan bahwa terdapat 17 genera fitoplankton yang di temukan di perairan TAD pada bulan juli dan agustus 2009,yang terdiri dari 11 genera diatom yang termasuk dalam 1filum, 1 kelas, 2 ordo, dan 12 family, 5 genera dinoflagellata yang termasuk dalam 1 filum, 3 kelas,3 ordo, dan 3 family, 1 genus dari filum Cyanophyta, kelas Cyanophyceae, ordo Oscillatoriales, dan family Oscillatoriaceae.
               Fitoplankton yang terwakili dalam kelas Baccilarriophyceae (Diatom) adalah Bacteriastrum, Biddulphia, Chaetoceros, Coscinodiscus, Melosira, Nitzschia, Pleurosigma, Rhizosolenia, Skeletoneme, Thalassionema, dan Triceratium. Sebaliknya, 5 genera Dinoflagellata yang ditemukan adalah Ceratium, Dynophysis, Gonyaulax, Peredinium, dan Pyrocystis. Sedangkan 1 genera fitoplankton dari kelas  Cyanophyceae diwakili oleh Trichodesmium.
               Pada bulan juli dan agustus ditemukan  fitoplankton dari genus Bacteriastrum, Chaetoceros, Coscinodiscus, Rhizosolenia, Skeletonema, Thalassionema, Ceratium, Dinophysis, dan Peredinium ,di semua stasiun pengamatan. Pada penelitian – penelitian sebelumnya telah ditemukan genus-genus yang dominan yaitu Chaetoceros, Thalassionema, Rhizosolenia, Coscinodiscus, Skeletonema, Dynophysis, dan Ceratium  ( Dwiono & rahayu,1984; Haumahu,2004). Sedangkan fitoplankton dari genus Chaetoceros, Coscinodiscus, Skeletonema, Thalassionema, Ceratium, dan Peredinium.merupakan genus-genus yang terdpat melimpah di perairan tropis (Lalli & Parsons,1997); Nontji,(2006).
               Kelompok yang mendominasi perairan TAD yaitu Diatom karena kemampuan reproduksinya yang lebih besar dibandingkan kelompok fitoplankton lainnya. (Nontji, 2006).

B.   Kelimpahan Fitoplankton

                           Mauren Sahuleka,(2009) menjelaskan bahwa kelimpahan dan keberadaan fitoplankton selama priode penelitian bervariasi pada setiap stasiun dan waktu penelitian. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data kelimpahan total fitoplankton pada bulan juli dan agustus 2009 sebanyak 9,2 x 105 sel/m3. Kelimpaha total fitoplankton di bulan juli adalah 2,47 x 105 sel/m3. Sedangkan di bulan agustus 2009, kelimpahannya mencapai 6,72 x 105 sel/m3.
                           Pada bulan juli 2009, kelimpahan fitoplankton berkisar antara 2,33 x 104 sel/m3 dan 4,46 x 105 sel/m3. kelimpahan fitoplankton tertinggi ditemukan pada stasiun Lateri (4,46 x 105 sel/m3), sedangkan kelimpahan fitoplankton terendah dijumpai pada stasiun Poka (2,3 x 104 sel/m3). Genera fitoplankton yang memiliki kelimpahan tertinggi pasa stasiun Lateri didominasi oleh Ceratium (2,95 x 105 sel/m3), Dinophysis (5,5 x 104 sel/m3) dan Thalassionema (2,5 x 104 sel/m3). Hal ini didukung oleh penelitian terdahulu oleh Haumahu (1994), dimana kelimpahan fitoplankton yang ditemukan berkisar antara 2,01 x 104 sel/m3 sampai 9,6 x 105 sel/m3.
                           Pada bulan Agustus, nilai kelimpahan fitoplankton bekisar antara 9,7 x 104 sel/m3 dan 1,27 x 106 sel/m3. kelimpahan fitoplankton tertinggi di temukan pada stasiun Passo (1,27 x 106 sel/m3) dan nilai kelimpahan terendah ditemukan pada stasiun Poka (9,7 x 104 sel/m3). Genera fitoplankton yang memiliki kelimpahan tertinggi pada stasiun Passo didominasi oleh genera Chaetoceros (4,9 x 104 sel/m3), Thalassionema (8,04 x 105 sel/m3), Ceratium  (3,1 x 104 sel/m3), Dinophysis ( 4,2 x 104 sel/m3), dan Peridinium (5,2 x 104 sel/m3). Kelimpahan tertinggi di stasiun Poka disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya yakni dengan adanya hutan mangrove di sepanjang perairan pantai Passo yang mampu memberikan pasokan unsur hara bagi fitoplankton. Faktor penunjang lainnya yakni adanya sejumlah aliran sungai yang diduga juga turut memberikan pasokan unsure hara ke perairan laut.

                           Total data kelimpahan fitoplankon pada perairan TAD pada bulan Juli dan Agustus 2009 diperlihatkan pada gambar berikut.







BAB III
PENUTUP

3.1      Kesimpulan

                                    Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa :

a.    Penyebaran fitoplankton di perairan TAD sangat dipengaruhi oleh parameter hidrologi yakni suhu, salinitas, pH dan juga nutrien.
b.    Pada perairan TAD terdapat 17 genera fitoplankton yang terdiri dari 11 genera diatom, 5 genera dinoflagellata, dan 1 genus Cyanobacteria.
c.    Secara umum, jenis fitoplankton yang di temukan di perairan TAD yaitu Thalassionema, Chaetoceros, Rhizosolenia, Ceratium, Dinopysis dan peridinium .
d.    Kelimpahan fitoplankton tertinggi berada pada bulan Agustus di peraiaran Passo, sedangkan kelimpahan terendah berada pada bulan juli di perairan Poka.